RESUME
BUKU ATHO MUDZHAR BAB V
Disusun oleh: Tata Puspita
Disusun oleh: Tata Puspita
Masjid dan Bakul Keramat : Konflik
dan Integrasi dalam Masyarakat Bugis Amparita
Masyarakat
Indonesia adalah masyarakat majemuk yang sifatnya multi-dimensional biasanya
ditimbulkan oleh perbedaan suku, tingkat sosial, pengelompokkan organisasi
politik, agama, dan sebagainya. Pada studi kasus yang berlokasi di Amparita,
sebuah desa di Sulawesi Selatan ini merupakan penelitian dengan tujuan memahami
konflik dan integrasi sosial antara kelompok-kelompok sosial yang ada pada desa
tersebut diketahui bermula dari adanya perbedaan agama. Relevansi studi-studi
tentang konflik dan integrasi sosial berusaha mengetahui faktor apa saja yang
dapat menyebabkan keduanya terjadi. Pengertian konflik ialah pertentangan
antara 2 kelompok sosial atau lebih, atau potensialitas yang mendorong ke arah
pertentangan. Sedangkan maksud integrasi adalah proses 2 kelompok sosial atau
lebih menjadi terpadu sehingga memberikan kebersamaan dan kesatuan.
Amparita adalah desa sekaligus
Ibukota Kecamatan Tellu LimpoE, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan.
Bukit-bukit kecil gundul yang memanjang mengelilingi desa ini dari arah utara
ke selatan. Terdapat 3 kelompok sosial di Amparita yang masing-masing berbeda
konsep dan sistem keagamaan, yaitu : 1) kelompok Islam yang mempercayai adanya
Tuhan Yang Maha Esa dan sangat tidak senang melihat orang menyembah batu-batuan,
kuburan, dan sebagainya., 2) kelompok Towani Tolontang mempunyai konsep
ketuhanan Dewata Seuwae, ritusnya dengan menyembah kuburan nenek moyang dan
batu-batuan., 3) Tolotang Benteng yang kepercayaan dan ritusnya sama seperti
Towani Tolotang, tetapi secara formal mengaku Islam.
Terjadi konflik antara ketiga
kelompok diatas walaupun berbeda intensitasnya. Konflik antara kelompok Islam
dan Towani Tolotang lebih keras daripada antara Islam dan Tolotang Benteng atau
antara Towani Tolotang dan Tolotang Benteng. Konflik sosial antara Islam dan
Towani Tolotang bermula dari soal keagamaan (upacara kematian, 1944) yang
kebetulan menyangkut siri (harga diri). Kemudian berlanjut dan tertunjang oleh
faktor politik pada masa pemberontakan
DI/TII (1951-1957), masa penumpasan G30S/PKI (1965-1966), dan masa operasi
”Maili sipakaenga” (1967). Adapun konflik antara kelompok Islam dan Tolotang
Benteng baru tampak nyata pada penumpasan G30S/PKI. Sedangkan konflik antara
kelompok Towani Tolotang dan Tolotang Benteng juga bermula pada tahun 1944
ketika terpecah untuk menepati atau tidak menepati perjanjian mereka dengan Sri
Raja Sidenreng La Cibu tentang penyelenggaraan upacara perkawinan dan kematian
secara islam.
Aspek-aspek yang mendorong konflik
sosial dewasa ini yaitu : aspek sejarah asal-usul masing-masing kelompok, aspek
kepercayaan dan pandangan, aspek makanan, aspek perkawinan, aspek
penyelenggaran pendidikan, aspek pimpinan konflik pada masa lalu, Towani
Tolotang sebagai persoalan hukum yang mana statusnya tidak menentu, dan aspek ‘sikap
mental’ yang masih penuh kecurigaan dan kurang pengertian antara masing-masing
kelompok. Lain halnya dengan konflik, menjelang pemilu 1971 mulai berhasil
tampak adanya usaha untuk mengintegrasikan ketiga kelompok tersebut tepatnya
setelah Towani Tolotang menyatakan diri masuk Golkar. Dimasa itu partai Golkar bisa disebut penguasa
karena memiliki suara dukungan terbesar.
Aspek-aspek pendorong yang
dimanfaatkan bagi usaha-usaha integrasi itu adalah : kepercayaan tentang Gunung
Lowa, kekayaan kebudayaan lama, pendidikan dalam arti yang umum, politik,
pertanian, kekerabatan, lingkungan alam, dan lain-lain. Dari berbagai macam
aspek tersebut aspek pertanian adalah yang paling mudah dilihat, tetapi
pendorong integrasi terkuat terletak pada aspek politik. Faktor politik selalu
cenderung untuk menjadi ‘panglima’ di atas permukaan baik keadaan konflik
maupun integrasi, walaupun di bawah permukaan belum tentu.
Kenyataan yang unik bahwa ketiga
kelompok sosial yang ada di Amparita mempunyai pimpinan dan pandangan yang
tidak sama. Tetapi, disisi lain mereka tinggal di satu desa dan rumah mereka
berdekatan bahkan berdampingan. Mereka sama-sama petani dan letak sawah garapan
mereka juga berdekatan. Mereka berkesukuan sama, mempunyai adat berpakaian yang
sama, dan menggunakan bahasa yang sama. Demikianlah, mereka hidup di dalam
perbedaan-perbedaan, namun dalam waktu yang sama mereka juga hidup dalam
persamaan-persamaan.
No comments:
Post a Comment