playlist

Friday, 8 September 2017

Masjid dan Bakul Keramat : Konflik dan Integrasi dalam Masyarakat Bugis Amparita

RESUME BUKU ATHO MUDZHAR BAB V
Disusun oleh: Tata Puspita
Masjid dan Bakul Keramat : Konflik dan Integrasi dalam Masyarakat Bugis Amparita
            Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang sifatnya multi-dimensional biasanya ditimbulkan oleh perbedaan suku, tingkat sosial, pengelompokkan organisasi politik, agama, dan sebagainya. Pada studi kasus yang berlokasi di Amparita, sebuah desa di Sulawesi Selatan ini merupakan penelitian dengan tujuan memahami konflik dan integrasi sosial antara kelompok-kelompok sosial yang ada pada desa tersebut diketahui bermula dari adanya perbedaan agama. Relevansi studi-studi tentang konflik dan integrasi sosial berusaha mengetahui faktor apa saja yang dapat menyebabkan keduanya terjadi. Pengertian konflik ialah pertentangan antara 2 kelompok sosial atau lebih, atau potensialitas yang mendorong ke arah pertentangan. Sedangkan maksud integrasi adalah proses 2 kelompok sosial atau lebih menjadi terpadu sehingga memberikan kebersamaan dan kesatuan.
            Amparita adalah desa sekaligus Ibukota Kecamatan Tellu LimpoE, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Bukit-bukit kecil gundul yang memanjang mengelilingi desa ini dari arah utara ke selatan. Terdapat 3 kelompok sosial di Amparita yang masing-masing berbeda konsep dan sistem keagamaan, yaitu : 1) kelompok Islam yang mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa dan sangat tidak senang melihat orang menyembah batu-batuan, kuburan, dan sebagainya., 2) kelompok Towani Tolontang mempunyai konsep ketuhanan Dewata Seuwae, ritusnya dengan menyembah kuburan nenek moyang dan batu-batuan., 3) Tolotang Benteng yang kepercayaan dan ritusnya sama seperti Towani Tolotang, tetapi secara formal mengaku Islam.
            Terjadi konflik antara ketiga kelompok diatas walaupun berbeda intensitasnya. Konflik antara kelompok Islam dan Towani Tolotang lebih keras daripada antara Islam dan Tolotang Benteng atau antara Towani Tolotang dan Tolotang Benteng. Konflik sosial antara Islam dan Towani Tolotang bermula dari soal keagamaan (upacara kematian, 1944) yang kebetulan menyangkut siri (harga diri). Kemudian berlanjut dan tertunjang oleh faktor politik  pada masa pemberontakan DI/TII (1951-1957), masa penumpasan G30S/PKI (1965-1966), dan masa operasi ”Maili sipakaenga” (1967). Adapun konflik antara kelompok Islam dan Tolotang Benteng baru tampak nyata pada penumpasan G30S/PKI. Sedangkan konflik antara kelompok Towani Tolotang dan Tolotang Benteng juga bermula pada tahun 1944 ketika terpecah untuk menepati atau tidak menepati perjanjian mereka dengan Sri Raja Sidenreng La Cibu tentang penyelenggaraan upacara perkawinan dan kematian secara islam.
            Aspek-aspek yang mendorong konflik sosial dewasa ini yaitu : aspek sejarah asal-usul masing-masing kelompok, aspek kepercayaan dan pandangan, aspek makanan, aspek perkawinan, aspek penyelenggaran pendidikan, aspek pimpinan konflik pada masa lalu, Towani Tolotang sebagai persoalan hukum yang mana statusnya tidak menentu, dan aspek ‘sikap mental’ yang masih penuh kecurigaan dan kurang pengertian antara masing-masing kelompok. Lain halnya dengan konflik, menjelang pemilu 1971 mulai berhasil tampak adanya usaha untuk mengintegrasikan ketiga kelompok tersebut tepatnya setelah Towani Tolotang menyatakan diri masuk Golkar.  Dimasa itu partai Golkar bisa disebut penguasa karena memiliki suara dukungan terbesar.
            Aspek-aspek pendorong yang dimanfaatkan bagi usaha-usaha integrasi itu adalah : kepercayaan tentang Gunung Lowa, kekayaan kebudayaan lama, pendidikan dalam arti yang umum, politik, pertanian, kekerabatan, lingkungan alam, dan lain-lain. Dari berbagai macam aspek tersebut aspek pertanian adalah yang paling mudah dilihat, tetapi pendorong integrasi terkuat terletak pada aspek politik. Faktor politik selalu cenderung untuk menjadi ‘panglima’ di atas permukaan baik keadaan konflik maupun integrasi, walaupun di bawah permukaan belum tentu.

            Kenyataan yang unik bahwa ketiga kelompok sosial yang ada di Amparita mempunyai pimpinan dan pandangan yang tidak sama. Tetapi, disisi lain mereka tinggal di satu desa dan rumah mereka berdekatan bahkan berdampingan. Mereka sama-sama petani dan letak sawah garapan mereka juga berdekatan. Mereka berkesukuan sama, mempunyai adat berpakaian yang sama, dan menggunakan bahasa yang sama. Demikianlah, mereka hidup di dalam perbedaan-perbedaan, namun dalam waktu yang sama mereka juga hidup dalam persamaan-persamaan.

No comments:

Post a Comment