1. Al-Kindi
Jiwa kata al-Kindi adalah
kesempurnaan pertama bagi jisim alami yang memiliki kehidupan secara potensial,
dan mengatakan jiwa adalah kesempurnaan jisim alami yang organis yang menerima
kehidupan.Artinya jiwa merupakan kesempurnaan esensial bagi jisim,yang tanpanya
jisim tidak berfungsi sama sekali, jisim akan binasa jika telah ditinggalkan
jiwa. Jadi, hakikat jiwa menurut al-Kindi adalah jauhar basith (tunggal, tidak
tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar). Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah
dan berbeda dengan jasad atau badan
Argumen tentang berbedanya jiwa
dengan badan, menurut al-Kindi adalah jiwa menentang keinginan hawa nafsu.
Apabila nafsu marah mendorong manusia untuk melakukan kejahatan,maka jiwa
menentangnya. Hal ini dapat dijadikan sebagai indikasi bahwa jiwa sebagai yang
melarang tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang.
Al-Kindi ,dalam tulisanya juga,
menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu
(al-Quwwat al-Syahwaniyyat) yang terdapat di perut, daya marah(al-Quwwat
al-Ghadabiyyat) yang terdapat di dada, dan daya pikir (al-Quawwat al-Aqliyat)
yang berpusat di kepala.
2. Al - Farabi
Jiwa manusia beserta materi
asalnya memancar dari Akal kesepuluh.
Jiwa adalah jauhar rohani sebagai form bagi jasad. Kesatuan keduanya merupakan
kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduanya subtansi yang berbeda
dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan
al-nafs al-nathinqah, yang berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad berasal
dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Begitu pula
al-Farabi mengemukakan bahwa manusia
terdiri dari dua unsur yakni jasad dan jiwa. Jasad dari alam ciptaan sedangkan
jiwa berasal dari alam perintah.
Bagi al-Farabi,jiwa manusia
mempunyai daya - daya sebagai berikut:
a. Daya al-Muharrikat (gerak), yang
mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.
b. Daya al-Mudrikat (mengetahui), yang
mendorong untuk merasa dan berimajinasi.
c. Daya al-Nathiqat (berpikir), yang
mendorong untuk berpikir secara treoritis dan praktis.
Daya
teoritis terdiri dari tiga tingakat yaitu:
a. Akal Potensial (al-hayyulani), ialah
akal yang baru mempunyai potensi berpikir dalam arti: melepaskan arti-arti dan
bentuk-bentuk dari materinya.
b. Akal Aktual (al-Alq-bi al-fi’il), akal
yang telah dapat melepaskanarti-arti dari materinya,dan arti-arti itu telah mempunyai
wujud dalam akal dengan sebenarnya,bukan lagi dalam bentuk potensial,tetapi
telah dalam bentuk aktual.
c. Akial Mustrafad (al-‘aql al-Mustafad),
akal yang telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak di kaitkan dengan
materi dan mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan akal
kesepuluh.
Tentang bahagia dan sengsaranya
jiwa, Al-Farabi mengaitkan dengan filsafat Negara utamanya. Bagi jiwa yang
hidup pada Negara utama, yakni jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan
segala perintahnya, maka jiwa ini, akan kembali ke alam Nufus (alam kejiwaan)
dan abadi dalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada Negara Fasiqah, yakni jiwa
yang kenal dengan Allah, tetapi ia tidak melaksanakan perintahnya, ia akan
kembali ke alam Nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsara. Sementara itu
jiwa yang hidup pada Negara jahilah, yakni jiwa yang tidak kenal dengan Allah
dan tidak pula pernah melakukan perintahnya, ia lenyap bagaikan jiwa hewan.
3.
Ibnu Sina
Harus diakui bahwa keistimewaan
pemikiran Ibnu Sina terletak pada filsafat jiwa yang mendefinisikan jiwa
sebagimana Aristoteles mendefinisikan pada waktu sebelumnya. Menurut Ibnu Sina,
jiwa adalah kesempurnaan awal, karena dengannya
spesies (jin) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia nyata.
Pengertian kesempurnaan menurut Ibnu Sina adalah sesuatu yang dengan
keberadaanya tabiat jenis menjadi manusia.
Ibnu Sina dan Aristoteles berbeda
pandangan dalam memahami makna kesempurnaan. Aristoteles memahami kesempurnaan
sebagai Potret. Ketika Aristoteles mendifinisikan jiwa sebagai suatu
kesempurnaan awal bagi Tubuh Alami, maka yang dimaksudkan adalah potret bagi
fisik Alami dan Prinsip perbuatanya yang dinamis. Sedangkan kesempurnaan kedua
adalah sifat yang berkaitan dengan Manusia seperti pemahaman inderawi bagi manusia
dan memotong bagi pedang.
Ibnu
Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :
a. Jiwa tumbuhan dengan daya-daya: makan,
tumbuh, berkembang biak.
b. Jiwa binatang dengan daya-daya: gerak, menangkap,
Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera.
c. Jiwa manusia dengan daya-daya: Praktis
yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal-hal
abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
1) Akal materil yang semata-mata mempunyai
potensi untuk berfikir dan belum dilatih walau sedikit pun.
2) Intelectual in habits, yang telah mulai
dilatih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
3) Akal actuil, yang telah dapat berfikir
tentang hal-hal abstrak.
4) Akal mustafad yaitu akal yang telah
sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia
merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan.
Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat
menerima jiwa, lahir di dunia ini.
4.
Al-Razi
Jiwa universal merupakan al-Mabda
al-Qadim al-Sany (sumber kekal yang kedua). Padanya terdapat daya hidup yang
bergerak, sulit diketahui karena ia tampa rupa, tetapi karena ia dikuasai
naluri untuk bersatu dengan al-hayula al-ula (materi pertama), terjadilah pada
zatnya rupa yang dapat menerima fisik, Allah datang menolong roh dengan
menciptakan alam semesta, termasuk tubuh manusia yang ditempati roh.
Jiwa yang tidak dapat menyucikan
dirinya dengan filsafat, ia akan tetap tinggal atau berkelana di dalam materi.
Akan tetapi, apilah ia sudah bersih ia dapat kembali ke alam asalnya,saat itu
alam hancur dan jiwa serta materi kembali kepada keadaanya semula.
Kemudian tentang keterlibatan jiwa
dalam mencari pengetahuan yang sempurna, hal itu merupakan kenikmatan pada hari ini dan
kebahagian pada hari yang akan datang (akhirat).ini disebabkan otoritas jiwa
terhadap dunia jasadiah dikondisikan oleh hubungan jiwa dengan tubuh.mengenai
kenyataan bahwa jiwa menerima manefestasi Murni (suci) dan pengetahuan
Ilahiyah,ini tidak tergantung pada hubungan jiwa dengan tubuh. Hubungan ini
sebagaimana fitrahnya,dapat menjadi suatu rintangan dalam mencapai
kesempurnaan. Manakalah hubungan ini terputus maka Manifestasi Ilahiyah yang
akan menjadi penerang. Oleh karena itu, bahwa perhatian terhadap suatu bidang
yang lebih tinggi,bagi seorang pencari yang menerima Manefestasi Ilahiyah
mengharuskan adanya kesempurnaan di hari ini (dunia) dan hari kemudian
(akhirat).
5.
Ibnu Miskawai
Jiwa adalah jauhar rohani yang
tidak hancur dengan sebab kematian
jasad. Ia adalah kesatuan yang tidak terbagi-bagi,ia tidak dapat diraba dengan
panca indera karena ia bukan jisim dan bagian dari jisim. Jiwa dapat menangkap
keberadaan zatnya dan ia argument yang dimajukanya ialah jiwa dapat menangkap
bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan,seperti warna hitam dan
putih, sedangkan badan tidak dapat
demikian.
Pendapat yang terakhir di atas,
dimaksudkan Ibnu Miskawaih untuk mematahkan pandangan kaum materialis yang
meniadakan jiwa bagi manusia. Ternyata Ibnu
Miskawaih berhasil membuktikan adanya pada diri manusia dengan argumen
seperti di atas. Namun, jiwa tidak dapat bermateri, sekalipun ia bertempat pada
materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu. Jadi,
Ibnu Miskawih mensinyalkan bahwa jiwa yang tidak dapat di bagi-bagi itu tidak
mempunyai unsur, sedangkan unsur-unsur hanya terdapat pada materi. Namun
demikian, jiwa dapat menyerap mareri yang kompleks dan nonmateri yang sederhana.
6. Ikwan Al-Shafa’
Seperti
halnya Al-Kindi, Ar-Razi, dan Al-Farabi, Ikhwan Ash Shafa’ memandang manusia
terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa yang bersifat materi, dan tubuh yang
merupakan campuran dari tanah, air, udara, dan Api. Dalam tulisan mereka
dikatakan bahwa masuknya jiwa kedalam tubuh merupakan hukuman kepada jiwa yang
telah melakukan pelanggaran (kisah Adam a.s dan pasanganya, Hawa). Sehingga,
jiwa di usir dari surga yakni alam rohani dan harus turun ke bumi, masuk ke
dalam tubuh[16].
Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam
perkembanganya jiwa manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar
jiwa tidak kecewa dalam perkembanganya, maka di bantu oleh akal yang merupakan
daya bagi jiwa untuk berkembang[17].
7. Al-Ghazali
Manusia
menurut Al-Gazali diciptakan Allah
sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa yang menjadi inti
hakikat manusia adalah makahluk spuiritual rabbania yang sangat halaus (latifah
rabbaniyah). Istilah- istilah yang digunakn Al-Ghazali untuk itu adalah qalb,
ruh, nafs dan ‘aql[18].
8. Ibnu Bajjah
Setiap
manusia mempunyai satu jiwa. Jiwa ini tidak mengalami perubahan sebagaiman
jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi manusia. Jiwa digerakkan dengan dua jenis
alat: alat-alat jasmani dan alat-alat rohani. Alat-alat jasmani diantaranya ada
berupa berupa buatan dan ada pula yang merupakan alamiah seperti kaki
dantangan. Alat-alat alamiah ini lebih dahulu daria alat buatan,yang diserbut
juga oleh Ibnu Bajjah dengan pendorong naluri( al-harr al-gaharisa atau roh
insting. Ia terdapat pada setiap makhluk yang berdara[19].
9. Ibnu Thufail
Jiwa
manusia, menurut Ibnu Thufail adalah makhluk yang tertinggal martabatnya.
Manusia terdiri dari dua unsur, yakni jasad dan roh (al-madat wa al-ruh). Badan
tersusun atas unsur-unsur, sedangkan jiwa tidak tersusun jiwa bukan jizim dan
bukan pula suatu daya yang ada di jalan jisim. Setelah badan hancur atau mengalami
kematian, jiwa lepas dari badan, dan jiwa yang pernah mengenal Allah selama
berada dalam jasad akan hidup dan kekal.
10. Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd
mencoba menggambarkan kebangkitan rohani dengan analog tidur. Sebagaimana
tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula ketika manusia mati, badan hancur, jiwa
tetap hidup dan jiwalah yang akan dibangkitkan. Kutipan lengkap sebagi berikut:
“…perbandingan antara kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti yang terang bahwa jiwa itu
hidup terus karena aktivitas dari jiwa bekerja pada saat tidur denga cara
membuat tidak bekerja organ-organ tubuhnya,tetapi keberadaan atau kehidupan
jiwa tidaklah terhenti maka sudah
semestinya keadaanya pada saat kematian
akan sama dengan keadaabnya pada saat tidur ….dan bukti inilah yang dapat dipahami oleh seluruh orang dan yang cocok untuk diyakini oleh orang
banyak atau orang awam, dan akan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang
terpelajar yang keberlangsunganya hidup
dari pada pada ujiwa itu adalah satu hal yang pasti. Dan hal ini pun terang
gambling dari firman Tuhan,’Tuhan mengambil jiwa – jiwa pada saat kematiannya
untu kembali kepada-Nya; dan jiwa-jiwa orang yangbelum mati pada saat tidur
mereka[20].
SUMBER
:
http://anthokzz.blogspot.co.id/2013/05/pandangan-filosof-muslim-tentang-jiwa.html
diakses pada 10/10/2016