playlist

Saturday, 24 March 2018

ILMU JIWA DALAM PANDANGAN FILOSOF ISLAM



1.      Al-Kindi
            Jiwa kata al-Kindi adalah kesempurnaan pertama bagi jisim alami yang memiliki kehidupan secara potensial, dan mengatakan jiwa adalah kesempurnaan jisim alami yang organis yang menerima kehidupan.Artinya jiwa merupakan kesempurnaan esensial bagi jisim,yang tanpanya jisim tidak berfungsi sama sekali, jisim akan binasa jika telah ditinggalkan jiwa. Jadi, hakikat jiwa menurut al-Kindi adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar). Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah dan berbeda dengan jasad atau badan
            Argumen tentang berbedanya jiwa dengan badan, menurut al-Kindi adalah jiwa menentang keinginan hawa nafsu. Apabila nafsu marah mendorong manusia untuk melakukan kejahatan,maka jiwa menentangnya. Hal ini dapat dijadikan sebagai indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang.
            Al-Kindi ,dalam tulisanya juga, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu (al-Quwwat al-Syahwaniyyat) yang terdapat di perut, daya marah(al-Quwwat al-Ghadabiyyat) yang terdapat di dada, dan daya pikir (al-Quawwat al-Aqliyat) yang berpusat di kepala.
2.      Al - Farabi
            Jiwa manusia beserta materi asalnya  memancar dari Akal kesepuluh. Jiwa adalah jauhar rohani sebagai form bagi jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduanya subtansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathinqah, yang berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Begitu pula al-Farabi  mengemukakan bahwa manusia terdiri dari dua unsur yakni jasad dan jiwa. Jasad dari alam ciptaan sedangkan jiwa berasal dari alam perintah. 


            Bagi al-Farabi,jiwa manusia mempunyai daya - daya sebagai berikut:        
a.       Daya al-Muharrikat (gerak), yang mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.
b.      Daya al-Mudrikat (mengetahui), yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi.
c.       Daya al-Nathiqat (berpikir), yang mendorong untuk berpikir secara treoritis dan praktis.
Daya teoritis terdiri dari tiga tingakat yaitu:
a.       Akal Potensial (al-hayyulani), ialah akal yang baru mempunyai potensi berpikir dalam arti: melepaskan arti-arti dan bentuk-bentuk dari materinya.
b.      Akal Aktual (al-Alq-bi al-fi’il), akal yang telah dapat melepaskanarti-arti dari materinya,dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya,bukan lagi dalam bentuk potensial,tetapi telah dalam bentuk aktual.
c.       Akial Mustrafad (al-‘aql al-Mustafad), akal yang telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak di kaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan akal kesepuluh.
            Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengaitkan dengan filsafat Negara utamanya. Bagi jiwa yang hidup pada Negara utama, yakni jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan segala perintahnya, maka jiwa ini, akan kembali ke alam Nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada Negara Fasiqah, yakni jiwa yang kenal dengan Allah, tetapi ia tidak melaksanakan perintahnya, ia akan kembali ke alam Nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsara. Sementara itu jiwa yang hidup pada Negara jahilah, yakni jiwa yang tidak kenal dengan Allah dan tidak pula pernah melakukan perintahnya, ia lenyap bagaikan jiwa hewan.

      3.   Ibnu Sina
            Harus diakui bahwa keistimewaan pemikiran Ibnu Sina terletak pada filsafat jiwa yang mendefinisikan jiwa sebagimana Aristoteles mendefinisikan pada waktu sebelumnya. Menurut Ibnu Sina, jiwa adalah kesempurnaan awal, karena dengannya  spesies (jin) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia nyata. Pengertian kesempurnaan menurut Ibnu Sina adalah sesuatu yang dengan keberadaanya tabiat jenis menjadi manusia.
            Ibnu Sina dan Aristoteles berbeda pandangan dalam memahami makna kesempurnaan. Aristoteles memahami kesempurnaan sebagai Potret. Ketika Aristoteles mendifinisikan jiwa sebagai suatu kesempurnaan awal bagi Tubuh Alami, maka yang dimaksudkan adalah potret bagi fisik Alami dan Prinsip perbuatanya yang dinamis. Sedangkan kesempurnaan kedua adalah sifat yang berkaitan dengan Manusia seperti pemahaman inderawi bagi manusia dan memotong bagi pedang.
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :
a.       Jiwa tumbuhan dengan daya-daya: makan, tumbuh, berkembang biak.
b.      Jiwa binatang dengan daya-daya: gerak, menangkap, Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera.
c.       Jiwa manusia dengan daya-daya: Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
1)      Akal materil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walau sedikit pun.
2)      Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
3)      Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
4)      Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
            Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini.
      4.   Al-Razi
            Jiwa universal merupakan al-Mabda al-Qadim al-Sany (sumber kekal yang kedua). Padanya terdapat daya hidup yang bergerak, sulit diketahui karena ia tampa rupa, tetapi karena ia dikuasai naluri untuk bersatu dengan al-hayula al-ula (materi pertama), terjadilah pada zatnya rupa yang dapat menerima fisik, Allah datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta, termasuk tubuh manusia yang ditempati roh.
            Jiwa yang tidak dapat menyucikan dirinya dengan filsafat, ia akan tetap tinggal atau berkelana di dalam materi. Akan tetapi, apilah ia sudah bersih ia dapat kembali ke alam asalnya,saat itu alam hancur dan jiwa serta materi kembali kepada keadaanya semula.
            Kemudian tentang keterlibatan jiwa dalam mencari pengetahuan yang sempurna, hal itu  merupakan kenikmatan pada hari ini dan kebahagian pada hari yang akan datang (akhirat).ini disebabkan otoritas jiwa terhadap dunia jasadiah dikondisikan oleh hubungan jiwa dengan tubuh.mengenai kenyataan bahwa jiwa menerima manefestasi Murni (suci) dan pengetahuan Ilahiyah,ini tidak tergantung pada hubungan jiwa dengan tubuh. Hubungan ini sebagaimana fitrahnya,dapat menjadi suatu rintangan dalam mencapai kesempurnaan. Manakalah hubungan ini terputus maka Manifestasi Ilahiyah yang akan menjadi penerang. Oleh karena itu, bahwa perhatian terhadap suatu bidang yang lebih tinggi,bagi seorang pencari yang menerima Manefestasi Ilahiyah mengharuskan adanya kesempurnaan di hari ini (dunia) dan hari kemudian (akhirat).

      5.   Ibnu Miskawai
            Jiwa adalah jauhar rohani yang tidak hancur  dengan sebab kematian jasad. Ia adalah kesatuan yang tidak terbagi-bagi,ia tidak dapat diraba dengan panca indera karena ia bukan jisim dan bagian dari jisim. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan ia argument yang dimajukanya ialah jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan,seperti warna hitam dan putih, sedangkan badan tidak dapat  demikian.
            Pendapat yang terakhir di atas, dimaksudkan Ibnu Miskawaih untuk mematahkan pandangan kaum materialis yang meniadakan jiwa bagi manusia. Ternyata Ibnu  Miskawaih berhasil membuktikan adanya pada diri manusia dengan argumen seperti di atas. Namun, jiwa tidak dapat bermateri, sekalipun ia bertempat pada materi, karena materi hanya menerima satu bentuk dalam waktu tertentu. Jadi, Ibnu Miskawih mensinyalkan bahwa jiwa yang tidak dapat di bagi-bagi itu tidak mempunyai unsur, sedangkan unsur-unsur hanya terdapat pada materi. Namun demikian, jiwa dapat menyerap mareri yang kompleks dan nonmateri yang sederhana.





6.   Ikwan Al-Shafa’

            Seperti halnya Al-Kindi, Ar-Razi, dan Al-Farabi, Ikhwan Ash Shafa’ memandang manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa yang bersifat materi, dan tubuh yang merupakan campuran dari tanah, air, udara, dan Api. Dalam tulisan mereka dikatakan bahwa masuknya jiwa kedalam tubuh merupakan hukuman kepada jiwa yang telah melakukan pelanggaran (kisah Adam a.s dan pasanganya, Hawa). Sehingga, jiwa di usir dari surga yakni alam rohani dan harus turun ke bumi, masuk ke dalam tubuh[16].
            Jiwa  manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembanganya jiwa manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa dalam perkembanganya, maka di bantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang[17].
      7.   Al-Ghazali
            Manusia menurut Al-Gazali  diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa yang menjadi inti hakikat manusia adalah makahluk spuiritual rabbania yang sangat halaus (latifah rabbaniyah). Istilah- istilah yang digunakn Al-Ghazali untuk itu adalah qalb, ruh, nafs dan ‘aql[18].
      8.   Ibnu Bajjah
            Setiap manusia mempunyai satu jiwa. Jiwa ini tidak mengalami perubahan sebagaiman jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi manusia. Jiwa digerakkan dengan dua jenis alat: alat-alat jasmani dan alat-alat rohani. Alat-alat jasmani diantaranya ada berupa berupa buatan dan ada pula yang merupakan alamiah seperti kaki dantangan. Alat-alat alamiah ini lebih dahulu daria alat buatan,yang diserbut juga oleh Ibnu Bajjah dengan pendorong naluri( al-harr al-gaharisa atau roh insting. Ia terdapat pada setiap makhluk yang berdara[19].
      9.   Ibnu Thufail
            Jiwa manusia, menurut Ibnu Thufail adalah makhluk yang tertinggal martabatnya. Manusia terdiri dari dua unsur, yakni jasad dan roh (al-madat wa al-ruh). Badan tersusun atas unsur-unsur, sedangkan jiwa tidak tersusun jiwa bukan jizim dan bukan pula suatu daya yang ada di jalan jisim. Setelah badan hancur atau mengalami kematian, jiwa lepas dari badan, dan jiwa yang pernah mengenal Allah selama berada dalam jasad akan hidup dan kekal.
      10. Ibnu Rusyd
            Ibnu Rusyd mencoba menggambarkan kebangkitan rohani dengan analog tidur. Sebagaimana tidur, jiwa tetap hidup, begitu pula ketika manusia mati, badan hancur, jiwa tetap hidup dan jiwalah yang akan dibangkitkan. Kutipan lengkap sebagi berikut:

“…perbandingan antara kematian dan tidur dalam masalah  ini adalah bukti yang terang bahwa jiwa itu hidup terus karena aktivitas dari jiwa bekerja pada saat tidur denga cara membuat tidak bekerja organ-organ tubuhnya,tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah terhenti  maka sudah semestinya keadaanya pada saat kematian  akan sama dengan keadaabnya pada saat tidur ….dan bukti inilah  yang dapat dipahami oleh seluruh orang  dan yang cocok untuk diyakini oleh orang banyak atau orang awam, dan akan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang terpelajar  yang keberlangsunganya hidup dari pada pada ujiwa itu adalah satu hal yang pasti. Dan hal ini pun terang gambling dari firman Tuhan,’Tuhan mengambil jiwa – jiwa pada saat kematiannya untu kembali kepada-Nya; dan jiwa-jiwa orang yangbelum mati pada saat tidur mereka[20].














SUMBER :