PSIKOLOGI ABNORMAL
GANGGUAN KEPRIBADIAN (PERSONALITY DISORDER)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................. i
PENDAHULUAN .................................................................................... 1
PEMBAHASAN ....................................................................................... 2
A. Gangguan Kepribadian ................................................................. 2
B. Tipe-tipe Gangguan Kepribadian.................................................. 3
Kelompok A.................................................................................. 4
a. Gangguan
Kepribadian Paranoid ............................................ 4
b. Gangguan Kepribadian Skizoid............................................... 6
c. Gangguan Kepribadian Skizotipal.......................................... 7
Kelompok B................................................................................... 9
a. Gangguan Kepribadian Antisosial........................................... 9
b. Gangguan Kepribadian Ambang........................................... 14
c. Gangguan Kepribadian Histrionik......................................... 16
d. Gangguan Kepribadian Narsistik.......................................... 17
Kelompok C................................................................................. 19
a. Gangguan Kepribadian Menghindar..................................... 19
b. Gangguan Kepribadian Dependen......................................... 21
c. Orang dengan Kepribadian Obsesif-Kompulsif.................... 22
C. Masalah dengan penggolongan gangguan Kepribadian.............. 24
D. Penyebab Menurut Perspektif Teoritis........................................ 27
E. Intervensi atau Penanganan Gangguan
Kepribadian menurut.... 33
KESIMPULAN ...................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ ................................................................................................................ 37
PENDAHULUAN
Kepribadian dapat
didefinisikan sebagai gabungan emosi dan tingkah laku yang membuat individu
memiliki karakteristik tertentu untuk menghadapi kehidupan sehari-hari.
Kepribadian individu relatif stabil dan memungkinan orang lain untuk memprediksi
pola pikir atau tindakan yang akan diambilnya (Nevid, Rathus,& Greene,
2005).
Individu dikatakan
mengalami gangguan kepribadian apabila ciri kepribadiannya menampakkan pola
perilaku maladaptif dan telah berlangsung untuk jangka waktu yang lama. Pola
tersebut muncul pada setiap situasi serta menganggu fungsi kehidupannya sehari-hari
seperti dalam relasi sosial dan pekerjaan. (Nevid, Rathus,& Greene, 2005).
Pada individu ini,
ciri kepribadian maladaptif itu tampak begitu melekat pada dirinya. Bahkan
mereka tidak menyadari masalah mereka. Biasanya mereka menolak untuk
mendapatkan pertolongan dari terapis dan menolak atau menyangkal bahwa dirinya memiliki
suatu masalah. Mereka tidak merasa cemas tentang perilakunya yang maladaptif
sehingga mereka pun tidak memiliki motivasi untuk mencari pertolongan dan sulit
sekali untuk mendapatkan perbaikan atau kesembuhan.
PEMBAHASAN
A.
GANGGUAN KEPRIBADIAN
Dalam Nevid dkk.,
(2005), gangguan Kepribadian (personal
disorder) adalah pola perilaku atau cara berhubungan dengan oranhg lain
yang benar-benar kaku. Kekakukan tersebut menghalangi mereka untuk menyesuaikan
diri terhadap tuntutan lingkungan, sehingga pola tersebut pada akhirnya
bersifat self-defeating. Gangguan
kepribadian (Aksis II pada DSM-IV) merupakan suatu ciri kepribadian yang
menetap, kronis, dapat terjadi pada hampir semua keadaan, menyimpang secara
jelas dari norma-norma budaya dan maladaptif serta menyebabkan fungsi kehidupan
yang buruk, tidak fleksibel dan biasanya terjadi pada akhir masa remaja atau
awal masa dewasa. Hal ini disebabkan pada usia ini masalah-masalah kepribadian
sering bermunculan begitu luas dan kompleks.
Gejala-gejala dari
orang dengan gangguan kepribadian biasanya alloplastik. Artinya, orang dengan
gangguan kepribadian akan berusaha merubah lingkungan untuk disesuaikan dengan
keinginannya. Gejala-gejalanya juga egosintonik. Artinya, orang dengan gangguan
kepribadian dapat menerima dengan baik tanda-tandanya. Tanda-tanda peringatan akan
adanya gangguan kepribadian dapat dideteksi pada masa kanak-kanak. Anak-anak
dengan gangguan psikologis atau perilaku bermasalah di masa kanak-kanaknya,
seperti gangguan tingkah laku, depresi, kecemasan, dan ketidakmatangan, lebih
besar risikonya dibandingkan risiko rata-rata untuk mengembangkan gangguan
kepribadian di kemudian hari (Berstein dkk., 1996; Kasen., 2001).
Orang dengan
gangguan kepribadian pada umumnya tidak merasa perlu untuk berubah. DSM
menyebutkan bahwa orang dengan gangguan kepribadian cenderung menganggap trait-trait mereka sebagai ego
syntinic―sebagai bagian alami dari diri mereka. Akibatnya, orang-orang
dengan gangguan kepribadian lebih cenderung dibawa ke ahli mental oleh orang
lain daripada oleh diri sendiri.
DSM mengelompokkan
sindrom kepribadian pada Aksis II. Gangguan kepribadian ini dapat didiagnosis
pada klien yang perilakunya memenuhi kriteria. DSM membagi gangguan kepribadian
menjadi 3 kelompok, yaitu:
Kelompok A
|
Orang yang dianggap
aneh atau eksentrik. Mencakup gangguan kepribadian paranoid, skizoid, dan
skizotipal.
|
Kelompok B
|
Orang dengan perilaku
yang terlalu dramatis, emosional, atau eratik (tidak menentu). Mencakup
gangguan kepribadian antisosial, ambang, hitrionik, dan narsistik.
|
Kelompok C
|
Orang yang seringkali
tampak cemas atau ketakutan. Mencakup kepribadian menghindar, dependen, dan
obsesif-kompulsif.
|
B.
TIPE-TIPE GANGGUAN KEPRIBADIAN
Dalam PPDGJ-III, klasifikasi gangguan kepribadian
adalah sebagai berikut.
F60 Gangguan
kepribadian khas
F60.0 Gangguan
kepribadian paranoid
F60.1 Gangguan
kepribadian skizoid
F60.2 Gangguan
kepribadian dissosial
F60.3 Gangguan
kepribadian emosional tak stabil
F60.4 Gangguan
kepribadian histrionik
F60.5 Gangguan
kepribadian anankastik
F60.6 Gangguan
kepribadian cemas
F60.7 Gangguan
kepribadian dependen
F60.8 Gangguan
kepribadian khas lainnya
F60.9 Gangguan
kepribadian YTT
F61 Gangguan
Kepribadian Campuran dan Lainnya
F61.0 Gangguan
kepribadian campuran
F61.1 Perubahan
kepribadian yang bermasalah
Sedangkan
dalam DSM, kriteria gangguan kepribadian dibagi menjadi 3 kelompok sebagai
berikut.
KELOMPOK
A
Gangguan Kepribadian yang Ditandai oleh
Perilaku Aneh atau Eksentrik
a. Gangguan
Kepribadian Paranoid (301.0/ F60.0)
Perasaan
curiga yang pervasif merupakan trait penentu dalam gangguan kepribadian
paranoid (paranoid personality disorder),
yaitu kecenderungan untuk menginterpretasi perilaku orang lain sebagai hal yang
mengancam atau merendahkan. Orang dengan gangguan ini sangat tidak percaya pada
orang lain, dan hubungan sosial mereka terganggu karenanya.
Orang
yang memiliki kepribadian paranoid cenderung terlalu sensitif terhadap kritikan,
baik itu nyata maupun yang dibayangkan. Mereka marah pada ketidakhormatan yang
sangat kecil. Mereka mudah marah dan tidak terima bila mereka pikir mereka telah
diperlakukan dengan sangat buruk. Mereka cenderung tidak mempercayakan rahasia
pribadi mereka pada orang lain karena mereka yakin bahwa informasi pribadi akan
digunakan untuk menyerang mereka. Mereka mempertanyakan ketulusan dan kelayakan
untuk dipercaya dari teman dan rekan mereka. Senyuman ataupun lirikan dapat
ditanggapi dengan kecurigaan.
Mereka juga cenderung sangat berhati-hati, seolah-olah
mereka harus waspada terhadap hal-hal yang mengancam atau menyakiti. Mereka
tidak mau disalahkan atas kekeliruan mereka, meskipun telah diberikan
bukti-bukti, orang-orang dengan gangguan paranoid dipandang oleh orang lain
sebagai individu yang dingin, menjaga jarak, punya rencana licik, pembohong,
dan tidak memiliki rasa humor. Sebagai akibatnya, mereka hanya memiliki sedikit
teman dan hubungan erat (Nevid, Rathus,& Greene, 2005).
Kriteria diagnostik (DSM-5) untuk gangguan kepribadian
paranoid adalah sebagai berikut.
a.
Ketidakpercayaan
dan kecurigaan yang pervasif kepada orang lain sehingga motif mereka dianggap
sebagai berhati dengki, dimulai pada masa dewasa awal dan tampak dalam berbagai
konteks, seperti yang ditunjukkan oleh empat (atau lebih) berikut :
1)
Menduga,
tanpa dasar yang cukup, bahwa orang lain memanfaatkan, membabayakan, atau
menghianati dirinya.
2)
Preokupasi
dengan keraguan yang tidak pada tempatnya tentang loyalitas atau kejujuran
teman atau rekan kerja.
3)
Enggan
untuk menceritakan rahasianya kepada orang lain karena rasa takut yang tidak
perlu bahwa informasi akan digunakan secara jahat melawan dirinya.
4)
Membaca
arti merendahkan atau mengancam yang tersembunyi dari ucapan atau kejadian yang
biasa.
5)
Secara
persisten menanggung dendam, yaitu tidak memaafkan kerugian, cedera, atau
kelalaian.
6)
Merasakan
serangan terhadap karakter atau reputasinya yang tidak tampak bagi orang lain
dan dengan cepat bereaksi secara marah atau balas menyerang.
7)
Memiliki
kecurigaan yang berlulang, tanpa pertimbangan, tentang kesetiaan pasangan atau
mitra seksual.
b.
Tidak
terjadi semata-mata selama perjalanan skizofrenia, suatu gangguan mood dengan
ciri psikotik, atau gangguan psikotik lain dan bukan karena efek fisiologis
langsung dari kondisi medis umum.
b. Gangguan
Kepribadian Skizoid (301.2/ F60.1)
Gangguan
kepribadian skizoid adalah sebuah gangguan kepribadian yang ditandai dengan
kurangnya minat dengan hubungan sosial, efek yang datar, dan penarikan diri
dari lingkungan sosial (Nevid, Rathus,& Greene, 2005). Ciri utama dari
gangguan kepribadian skizoid ini adalah isolasi sosial.
Mereka
dengan gangguan ini tampak jauh dan menjaga jarak, mereka penyendiri. Wajah
mereka cenderung tidak menampilkan ekspresi emosional, seperti kemarahan,
kebahagiaan, atau kedehihan tidak tampak pada diri mereka. Mereka jarang
bertukar senyum sosial atau salam yang disertai anggukan dengan orang lain.
Mereka tampak tidak terpengaruh terhadap kritikan atau pujian yang tampak
terbungkus dalam ide-ide abstrak dari dalam pikiran mengenai manusia, mereka
cenderung preokupasi dengan fantasi dan introspeksi yang berlebihan. Meski
mereka lebih senang menjaga jarak dengan orang lain, mereka membina kontak yang
lebih baik dengan realitas daripada orang yang menderita skizofrenia.
Prevalensi dari gangguan ini dalam populasi umum tidak lah diketahui (Nevid,
Rathus, & Greene, 2005).
Dalam Nevid, dkk.(2005) juga dijelaskan bahwa pola
kepribadian skizoid umumnya dapat dikenali saat awal masa dewasa. Pria dengan
gangguan ini jarang berkencan atau menikah. Perempuan dengan gangguan ini
cenderung menerima ajakan romantis secara pasif dan menikah, namun mereka
jarang berinisiatif untuk membina huhungan atau untuk mengembangkan ikatan yang
kuat dengan pasangan mereka.
Kriteria diagnostik (DSM-5) untuk gangguan kepribadian
paranoid adalah sebagai berikut.
a.
Pola
pervasif pelepasan dari hubungan sosial dan rentang pengalaman emosi yang
terbatas dalam lingkungan interpersonal, dimulai pada masa dewasa awal dan
ditemukan dalam berbagai korteks, seperti yang dinyatakan oleh empat (atau
lebih) berikut:
1)
Tidak
memiliki minat ataupun menikmati hubungan dekat, termasuk menjadi bagian dari
keluarga.
2)
Hampir
selalu memilih kegiatan secara sendirian.
3)
Memiliki
sedikit, jika ada, rasa tertarik untuk melakukan pengalaman seksual dengan
orang lain.
4)
Merasakan
kesenangan dalam sedikit, jika ada aktifitas.
5)
Tidak
memiliki teman dekat atau orang yang dipercaya selain sanak saudara derajat
pertama.
6)
Tampak
tidak acuh terhadap pujian atau kritik orang lain.
7)
Menunjukkan
kedinginan emosi, pelepasan atau pendataran afektivitas.
b. Tidak terjadi
semata-mata selama perjalanan skizofrenia, gangguan, suatu gangguan mood dengan
ciri psikotik, gangguan psikotik lain atau suatu gangguan perkembangan pervasif,
dan bukan karena efek fisiologis langsung dari kondisi medis umum
c. Gangguan
Kepribadian Skizotipal (301.22)
Gangguan
Kepribadian Skizotipal adalah gangguan kepribadian yang didiagnosis pada orang yang
kesulitan dalam membina hubungan dekat. Dari perilaku, sikap, hingga pola
pikirnya aneh atau ganjil, namun tidak cukup terganggu untuk dapat didiagnosis
skizofrenia. Mereka dapat menjadi sangat cemas dalam situasi sosial, bahkan
saat berinteraksi dengan orang yang mereka kenal. Kecemasan sosial mereka
tampak terkait dengan pikiran paranoid (misalnya, takut bahwa orang lain akan
menyakiti mereka) dibandingkan dengan ketekutan akan di tolak atau dievaluasi
secara negatif oleh orang lain (Nevid, Rathus,& Greene, 2005).
Keesentrikan
yang terkait dengan kepribadian skizoid terbatas pada kurangnya minat terhadap
hubungan sosial. Sedangkan ganguan kepribadian skizotipal merujuk pada cakupan
yang lebih luas dari perilaku, persepsi, dan keyakinan-keyakianan yang ganjil.
Orang dengan ganguan ini mengalami persepsi atau ilusi yang tidak umum, seperti
perasaan akan hadirnya seorang anggota keluarga yang telah meninggal di dalam
ruangan. Namun mereka menyadari bahwa orang tersebut tidak benar-benar ada
disana. Mereka mengembangkan ideas of
reference, seperti keyakinan bahwa orang lain sedang membicarakan mereka.
Mereka bisa terlibat dalam "pikiran magis" seperti keyakinan bahwa
mereka memiliki “indra keenam" (misalnya meramal masa depan) atau bahwa
orang lain dapat merasakan perasaan mereka. Mereka dapat melekatkan makna yang
tidak umum pada kata-kata (Nevid, Rathus,& Greene, 2005).
Pembicaraan
mereka mungkin tidak jelas atau abstrak dalam artian yang tidak biasa. Mereka
memiliki penampilan yang berantakan, menunjukan sikap dan prilaku yang tidak
umum, seperti berbicara pada diri sendiri saat bersama dengan orang lain. Wajah
mereka hanya menunjukan sedikit emosi. Seperti orang dengan kepribadian
skizoid, mereka tidak bertukar senyum atau anggukan dengan orang lain. Atau
mereka dapat tampak konyol den tersenyum serta tertawa pada saat yang keliru.
Kriteria
diagnostik (DSM-5) pada gangguan
skizotipal adalah sebagai berikut.
a.
Pola
pervasif deficit sosial dan interpersonal yang ditandai oleh ketidak senangan
akut dengan, dan penurunan kapasitas untuk, hubungan erat dan juga oleh
peyimpangan kognitif atau persepsi dan perilaku eksentrik, dimulai pada masa
dewasa awal dan tampak dalam berbagai konteks , seperti yang ditunjukkan oleh
lima (atau lebih) berikut:
1)
Gagasan
yang menyangkut diri sendiri (ideas of
reference) kecuali waham yang menyangkut diri sendiri.
2)
Keyakinan
aneh atau pikiran magis yang mempengaruhi perilaku dan tidak konsisten dengan
norma Kultural (misalnya, percaya takhyul), (superstitiousness), percaya dapat melihat apa yang akan terjadi (clairvoyance), telepati, atau indera
keenam, pada anak-anak dan remaja khayalan atau preokupasi yang kacau)
3)
Pengalaman
persepsi yang tidak lazim, termasuk ilusi tubuh.
4)
Pikiran
dan bicara yang aneh.
5)
Kecurigaan
atau ide paranoid.
6)
Afek
yang tidak sesuai atau terbatas.
7)
Perilaku
atau penampilan yang aneh, eksentrik atau janggal.
8)
Tidak
memiliki teman akrab atau orang yang dipercaya selain sanak saudara derajat
pertama
9)
Kecemasan
sosial yang bertebihan yang tidak menghilang dengan keakraban dan cenderung
disertai dengan ketakutan paranoid ketimbang pertimbangan negative tentang diri
sendiri.
b.
Tidak
terjadi semata- mata selama perjalanan skizofrenia , suatu gangguan mood dengan
ciri psikotik lain , atau suatu gangguan perkembangan pervasif.
KELOMPOK B
Gangguan Kepribadian yang Ditandai oleh Perilaku Dramatis, Emosional,
atau Eratik
a.
Gangguan Kepribadian Antisosial (301.7/ F60.2)
Orang dengan gangguan kepribadian antisosial (antisosial personality disorder) secara persisten atau konstan
melakukan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dan sering melanggar hukum,
mengabaikan norma, dan konvensi sosial, impulsif, serta gagal membina komitmen
interpersonal dan pekerjaan. Ciri yang paling menonjol dari mereka adalah
tingkat kecemasan yang rendah ketika ada keadaan yang mengancam dan kurangnya
rasa bersalah atau penyesalan ketika mereka melakukan sebuah kesalahan. Pada
perilaku mereka, hukuman nampaknya hanya sedikit memiliki dampak. Siapapun yang
menghukum, mereka akan tetap menjalankan hidup yang tidak bertanggung jawab
atau impulsif.
Menurut survey Kesler, dkk. (1994) bahwa
gangguan kepribadian antisosial 5x lebih umum dijumpai pada laki-laki daripada
perempuan. Tetapi gangguan antisosial tersebut telah tumbuh dengan cepat di
antara tahun-tahun terakhir ini.
Pola perilaku yang menandai gangguan
kepribadian antisosial ini biasanya dimulai dari masa kanak atau remaja hingga
berlanjut hingga dewasa. Namun, perilaku antisosial dan kriminal yang terkait
dengan gangguan kepribadian ini cenderung menurun sesuai bertambahnya usia, dan
mungkin akan hilang pada saat orang tersebut mencapai usia 40 tahun. Namun,
tidak demikian dengan Trait
kepribadian yang mendasari gangguan antisosial – trait seperti egosentris; manipulatif; kurangnya empati; kurangnya
rasa bersalah atau penyesalan, dan kekejaman pada orang lain. Hal-hal tersebut
relatif stabil meski terdapat penambahan usia (Harpur & Hare, 1994).
Kriteria diagnostik (DSM-5) pada gangguan
kepribadian antisosial adalah sebagai berikut.
a. Paling tidak berusia 18 tahun.
b. Ada bukti gangguan perilaku sebelum usia 15
tahun, ditunjukkan dengan pola perilaku seperti membolos, kabur, memulai
perkelahian fisik, menggunakan senjata, memaksa seseorang untuk melakukan
aktivitas seksual, kekejaman fisik pada orang atau binatang, merusak atau
membakar bangunan secara sengaja, berbohong, mencuri, atau merampok.
c. Sejak usia 15 tahun menunjukkan kepedulian
yang kurang dan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, yang ditunjukkan oleh
beberapa perilaku sebagai berikut:
1) Kurang patuh terhadap norma sosial dan
peraturan hukum, ditunjukkan dengan pola perilaku melanggar hukum yang dapat
atau tidak dapat mengakibatkan penahanan, seperti merusak bangunan, terlibat
dalam pekerjaan yang bertentangan dengan hukum, mencuri, atau menganiaya orang
lain.
2) Agresif dan sangat mudah tersinggung saat
berhubungan dengan orang lain, ditunjukkan dengan terlibat dalam perkelahian,
fisik dan menyerang orang lain secara berulang, mungkin termasuk penganiayaan
terhadap pasangan atau anak-anak.
3) Secara konsisten tidak bertanggung jawab,
ditunjukkan dengan kegagalan mempertahankan pekerjaan karena ketidakhadiran
berulang kali, keterlambatan, mengabaikan kesempatan kerja atau memperpanjang
periode pengangguran meski ada kesempatan kerja; dan/atau kegagalan untuk
mematuhi tanggung jawab seperti gagal membiayai anak atau membayar hutang;
dan/atau kurang dapat bertahan dalam hubungan monogami.
4) Gagal membuat perencanaan masa depan atau
impulsivitas, seperti ditunjukkan oleh perilaku berjalan-jalan tanpa pekerjaan
atau tujuan yang jelas.
5) Tidak menghormati kebenaran, ditunjukkan
dengan berulang kali berbohong, memperdaya, atau menggunakan orang lain untuk
mencapai tujuan pribadi atau kesenangan.
6) Tidak menghargai keselamatan diri sendiri atau
keselamatan orang lain, ditunjukkan dengan berkendara saat mabuk atau berulang
kali mengebut.
7) Kurangnya penyesalan atas kesalahan yang
dibuat, ditunjukkan dengan ketidakpedulian akan kesulitan yang ditimbulkan pada
orang lain, dan/atau membuat alas an untuk kesulitan tersebut.
Faktor-faktor sosiokultural dan gangguan kepribadian antisosial
Gangguan
ini lebih umum terjadi dalam kelompok sosial ekonomi yang lebih rendah. Hal
tersebut mungkin dikarenakan bahwa dari orang dengan kehidupan tingkat sosial
ekonomi rendah cenderung diasuh oleh orang tua yang memberi panutan perilaku
antisosial. Bagaimanapun, bisa juga terjadi bahwa diagnosis yang telah
diberikan secara keliru pada orang yang hidup dalam komunitas keras yang
mungkin menunjukkan perilaku antisosial sebuah strategi pertahanan hidup (APA,
2000).
Perilaku Antisosial dan Kriminalitas
Kita
cenderung berpikir perilaku antisosial bersinonim dengan perilaku kriminalis.
Meski terdapat hubungan kuat antara perilaku keduanya, tidak semua kriminalis
menunjukkan tanda-tanda psikopat dan tidak semua orang dengan kepribadian
psikopati menjadi kriminalis (Lilienfeld & Andrews, 1996). Orang-orang yang
menjadi kriminalis atau berbuat kejahatan bisa saja bukan karena kepribadian
yang terganggu tetapi karena mereka dibesarkan dalam lingkungan atau dipaparkan
pada budaya yang mendorong dan menghargai perilaku kriminal.
Dalam sebuah penelitian di mana peneliti
memandang bahwa kepribadian psikopat terdiri dari dua dimensi yang agak
terpisah, yaitu:
a. Dimensi kepribadian, dimensi ini terdiri dari
trait-trait seperti karisma yang tampak di luarnya saja, mementingkan diri
sendiri, kurangnya empati, keji dan tidak ada penyesalan meski telah
memanfaatkan orang lain, serta tidak memikirkan kesejahteraan orang lain. Tipe
kepribadian psikopat ini dikenakan pada orang yang memiliki trait psikopat namun tidak menjadi pelanggar
hukum.
b. Dimensi kedua yang dipertimbangkan adalah
dimensi perilaku, dimensi ini ditandai oleh gaya hidup yang tidak stabil dan
antisosial, termasuk sering berhadapan dengan masalah hukum, riwayat pekerjaan
yang minim, dan hubungan yang tidak stabil (Brown & Forth, 1997; Cooke
& Michie, 1997).
Kedua dimensi ini umumnya terpisah; banyak
individu psikopat menunjukan bukti memiliki kedua macam trait tersebut. Namun
kita juga sebaiknya mengenali bahwa kurangnya rasa penyesalan, yang merupakan
ciri utama dari gangguan kepribadian antisosial, tidak tidak menandai semua
kriminal (Nevid, Rathus, & Greene, 2005).
Gangguan
Kepribadian Antisosial dan Psikopat:
1) Gangguan kepribadian antisosial adalah
gangguan kepribadian yang menunjukkan perilaku tidak bertanggungjawab dan tidak
konsisten dalam bekerja, melanggar hukum, mudah tersinggung, dan agresif secara
fisik.
2) Karakteristik psikopat, salah satu
karakteristik utama psikopat adalah kemiskinan emosi baik yang negatif maupun
positif. Orang yang psikopatik tidak memiliki rasa malu, bahkan perasaan mereka
yang tampak positif terhadap orang lain hanyalah kepura-puraan.
Profil Kepribadian Antisosial
Hervey Cleckley (1941) menunjukan bahwa
ciri-ciri yang menentukan kepribadian psikopat (antisosial) – self-centereddness, tidak bertanggung
jawab, implusif dan tidak peka terhadap kebutuhan orang lain – tak hanya
kriminalis tetapi juga pada anggota komunitas yang terhormat, termasuk dokter,
pengacara, politikus, dan pembisnis eksekutif (Nevid, Rathus, & Greene,
2005).
Menurut
Patrick, dkk (1994) dan Robins, dkk (1991), Ciri- ciri umum orang dengan
ganguan antisosial mencakup kegagalan patuh pada norma sosial, tidak
bertanggung jawab, tidak mau berusaha dan tidak memiliki rencana atau tujuan
jangka panjang, perilaku yang implusif, benar-benar tidak patuh pada hukum,
melakukan kekerasan, tidak memiliki pekerjaan dalam waktu yang lama, memiliki
masalah perkawinan, kurangnya rasa penyesalan atau empati, penyalahgunaan obat,
riwayat alkoholisme, serta tidak menghargai kebenaran dan perasaan juga
kebutuhan orang lain (dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2005).
b.
Ganguan Kepribadian Ambang (301.83/ F60.31)
Borderline Personality Disorder/BPD merupakan gangguan kepribadian yang ditandai
oleh
perubahan yang cepat dalam mood, kurangnya sense of self yang koheren, serta perilaku yang tidak
dapat diduga dan implusif. Kepribadian ambang cenderung tidak
yakin akan identitas pribadi mereka-nilai, tujuan, karier, dan
bahkan mungkin orientasi seksual mereka. Ketakutan akan ditinggalkan
menjadikan mereka pribadi yang melekat dan menuntut dalam hubungan sosial
mereka, Namun kelekatan mereka seringkali malah menjauhkan orang-orang
yang menjadi tumpuan mereka. Tanda-tanda penolakan membuat mereka sangat marah, yang membuat hubungan mereka lebih
jauh lagi. Akibatnya perasaan mereka terhadap orang lain menjadi mendalam dan
berubah-ubah (Nevid, Rathus, & Greene, 2005).
Mereka silih berganti antara melakukan pemujaan yang ekstram dengan
memendam kebencian. Mereka memandang orang lain sebagai semua-tentangnya-baik
atau semua-tentangnya-buruk dan berubah-ubah dengan cepat dari satu ekstrim ke
ekstrim lain. Sebagai hasilnya mereka terbang dari satu pasangan kepasangan
lain dalam satu seri hubungan yang singkat dan menggebu-gebu (Gunderson &
Singer, 1986).
Menurut Sanislow, dkk (2000), ketidakstabilan mood merupakan
karakteristik sentral dari ganguan kepribadian ambang. Mood berkisar dari
kemarahan dan iritabilitas sampai pada depresi dan kecemasan, yang
masing-masing berlangsung dari beberapa jam ke beberapa hari. Mereka memiliki
kesulitan dalam mengendalikan kemarahan dan rentan terhadap perkelahian dan
perselisiahan. Self-mutilation
terkadang dimunculkan sebagai ekspresi kemarahan atau sebagai sarana
memanipulasi orang lain (Nevid, Rathus, & Greene, 2005).
Dalam buku Psikologi Abnormal
oleh Nevid, dkk (2005) dijelaskan bahwa individu dengan BPD cenderung untuk
memiliki hubungan yang bermasalah dengan keluarga asalnya dan dengan orang
lain. Mereka banyak memiliki riwayat pengalaman traumatis semasa kanak-kanak,
seperti kehilangan atau perpisahan dengan orang tua, penganiayaan, pengabaian
atau menyaksikan kekerasan. Dari perspektif psikodinamika modern, individu
ambang dianggap tidak dapat menyintesiskan elemen positif dan negatif dari
kepribadian menjadi keseluruahan yang utuh. Karenanya mereka gagal mencapai self-identity atau gambaran mengenai
orang lain yang pasti.
Kriteria diagnostik (DSM-5) pada gangguan Borderline Personality
Disorder adalah sebagai berikut.
a. Pola pervasif ketidakstabilan hubungan interpersonal,
citra diri, dan afek, dan impulsivitas yang jelas pada dewasa awal dan
ditemukan dalam berbagai konteks, seperti yang ditunjukkan oleh lima (atau
lebih) berikut :
1) Usaha mati-matian untuk menghindari ketinggalan
yang nyata atau khayalan.
2) Pola hubungan interpersonal yang tidak stabil
dan kuat yang ditandai oleh perubahan antara ekstrim-ekstrim idealisasi dan
devaluasi.
3) Gangguan identitas, citra diri atau perasaan
diri sendiri yang tidak stabil secara jelas dan persisten.
4) lmpulsivitas pada sekurangnya dua bidang yang
potensial membahayakan diri sendiri.
5) Perilaku, isyarat, atau ancaman bunuh diri
yang berulang kali, atau perilaku mutilasi diri.
6) Ketidakstabilan afektif karena reaktivitas
mood yang jelas.
7) Perasaan kosong yang kronis.
8) Kemarahan yang kuat dan tidak pada tempatnya
atau kesulitan dalam mengendalikan kemarahan.
9) Ide paranoid yang transien dan berhubungan
dengan stress, atau gejala disosiatif yang parah.
c.
Gangguan Kepribadian Histrionik (301.7/ F60.4)
Gangguan kepribadian histrionik (histrionic
personality disorder) melibatkan emosi berlebihan dan kebutuhan yang besar
untuk bisa menjadi pusat perhatian. Istilah ini berasal dari bahasa Latin histrio, yang berarti “aktor”. Orang
dengan gangguan kepribadian histrionic cenderung dramatis dan emosional, namun
emosi mereka tampak dangkal, dibesar-besarkan dan mudah berubah. Gangguan ini
didiagnosis lebih sering pada perempuan daripada laki-laki (Hartung &
Widiger, 1998, dalam buku Psikologi
Abnormal, Nevid, Rathus, & Greene, 2005).
Orang-orang dengan gangguan kepribadian
histrionik cenderung menuntut agar orang lain memenuhi kebutuhan mereka akan
perhatian dan berperan sebagai korban saat orang lain mengecewakan mereka. Pada
umumnya, mereka tertarik pada mode dan mereka cenderung self-centered bahkan tidak toleran terhadap penundaan kesenangan.
Profesi seperti modeling dan akting menjadi kemungkinan wadah yang menarik bagi
mereka dengan berkepribadian histrionik, di mana dunia profesi tersebut
terdapat dominasi lampu sorot. Meski tampak sukses di luar, mereka sebenarnya
memiliki self-esteem yang kurang dan
sedang berjuang memberi kesan pada orang lain bertujuan untuk meningkatkan self-worth mereka. Keraguan yang
menyedihkan akan muncul dalam diri mereka apabila mereka mengalami kemunduran
atau kehilangan perhatian publik.
Kriteria diagnostik (DSM-5) pada gangguan Histrionik adalah sebagai
berikut.
a. Pola pervasif emosionalitas dan mencari
perhatian yang berlebihan, dimulai pada masa dewasa muda dan tampak dalam
berbagai konteks, seperti yang ditunjukkan oleh lima (atau lebih) berikut :
1) Tidak merasa nyaman dalam situasi dimana ia
tidak merupakan pusat perhatian.
2) Interaksi dengan orang lain sering ditandai
oleh godaan seksual yang tidak pada tempatnya atau perilaku provokatif.
3) Menunjukkan pergeseran emosi yang cepat dan
ekspresi emosi yang dangkal.
4) Secara terus menerus menggunakan penampilan
fisik untuk menarik perhatian kepada dirinya.
5) Memiliki gaya bicara yang sangat
impresionistik dan tidak memiliki perincian.
6) Menunjukkan dramitasi diri, teatrikal, dan
ekspresi emosi yang berlebihan.
7) Mudah disugesti, yaitu mudah dipengaruhi oleh
orang lain atau situasi.
8) Menganggap hubungan menjadi lebih intim
ketimbang keadaan sebenarnya.
d.
Gangguan Kepribadian Narsistik (301.81/
F60.81)
Narkissos adalah seorang pemuda tampan yang menurut mitologi Yunani, jatuh cinta pada
bayangannya sendiri. Karena self-love-nya yang berlebihan, dalam
salah satu versi dari mitologi, ia
diubah oleh para dewa menjadi bunga yang kini dikenal sebagai narcissus. Orang dengan gangguan kepribadian narsisistik (narcissistic personality disorder) memiliki rasa bangga atau keyakinan yang berlebihan terhadap diri mereka
sendiri dan kebutuhan yang ekstrem
akan pemujaan. Mereka membesar-besarkan prestasi mereka dan berharap orang lain menghujani mereka dengan pujian.
Mereka bersifat self-absorbed dan
kurang memiliki empati pada orang lain. Orang dengan kepribadian narsistik
cenderung terpaku pada fantasi akan keberhasilan dan kekuasaan, cinta yang
ideal, atau pengakuan kecerdasan atau kecantikan.
Orang dengan gangguan kepribadian narsistik umumnya dapat
mengorganisasi pikiran dan tindakan mereka dengan lebih baik. Banyak orang
dengan kepribadian narsistik yang cukup berhasil dalam pekerjaan mereka. Ambisi
yang serakah membuat mereka mendedikasikan diri untuk bekerja tanpa lelah.
Mereka mencari pertemanan dengan para pemuja mereka dan serng tampak penuh
kharisma dan ramah serta dapat menarik perhatian orang. Namun, minat mereka
pada orang lain hanya bersifat satu sisi: Menurut Golemen, 1988b), mereka
mencari orang yang melayani minat mereka dan memelihara rasa self-importance mereka (dalam buku Psikologi Abnormal, Nevid, Rathus, &
Greene, 2005).
Kriteria diagnostik (DSM-5) pada gangguan Narsistik adalah sebagai
berikut.
a. Pola perfsif kebesaran (dalam khayalan atau
perilaku), membutuhkan kebanggaan, dan tidak ada empati, dimulai pada masa
dewasa awal dan tampak dalam berbagai konteks, seperti yang ditunjukkan oleh
lima (atau lebih) berikut :
1) Memiliki rasa kepentingan diri yang besar
(misalnya melebih-lebihkan bakat dan kemampuannya, padahal tidak sepadan).
2) Preokupasi dengan khayalan akan keberhasilan,
kekuatan, kecerdasan, kecantikan, atau cinta ideal yang tidak terbatas.
3) Yakin bahwa ia adalah khusus dan unik dan
dapat dimengerti hanya oleh atau harus berhubungan dengan orang lain (atau
institusi) yang khusus atau memiliki status tinggi.
4) Membutuhkan kebanggaan yang berlebihan
5) Memiliki perasaan bernama besar, yaitu harapan
yang tidak beralasan akan perlakuan khusus atau kepatuhan otomatis sesuai
harapannya.
6) Eksploatif secara interpersonal, yaitu
mengambil keuntungan dari orang lain untuk mencapai tujuannya sendiri.
7) Tidak memiliki tempat, tidak mau mengenali
atau mengetahui perasaan dan kebutuhan orang lain.
8) Sering cemburu terhadap orang lain dan merasa
orang lain juga cemburu kepada dirinya.
9) Memperlihatkan kesombongan, sikap congkak dan
sombong
KELOMPOK C
Gangguan Kepribadian yang Ditandai oleh
Perilaku Cemas atau Ketakutan
a.
Gangguan Kepribadian
Menghindar (301.82/ F60.6)
Orang
kepribadian menghindar (avoidant
personality disorder) sangat ketakutan akan penolakan dan kritik sehingga
mereka umumnya tidak memasuki hubungan tanpa adanya kepastian akan penerimaan.
Sebagai hasilnya, mereka hanya memiliki sedikit teman dekat di luar keluarga
inti. Mereka juga cenderung menghindari pekerjaan kelompok atau aktivitas
rekreasi karena takut penolakan. Mereka lebih suka menyendiri. gangguan
kepribadian menghindar, yang muncul dalam proporsi sama pada laki laki dan
perempuan, diyakini menimpa antara 0,5% hingga 1% dari populasi umum (APA,
2000).
Tidak
seperti orang dengan karakteristik skizoid, yang juga memiliki karakteristik
ciri menarik diri secara sosial, individu dengan gangguan kepriadian menghindar
memiliki minat dan perasaan akan kehangatan pada orang lain. meskipun demikian,
ketakutan akan penolakan menghalangi mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka
akan afeksi dan penerimaan. Dalam sistuasi sosial, mereka cenderung merapat
pada dinding dan menghindari percakapan pada orang lain.
Ada
tumpang tidih yang cukup besar antara gangguan kepribadian menghindr dengan fobia
sosial, terutama dengan subtype fobia sosial yang parah dan mencakup pola
menyeluruh dari fobia sosial (ketakutan yang tidak rasional dan berlebihan pada
hampir setiap situasi sosial) (Turner, Beidel, & Townsley, 1992; Widiger,
1992). Meskipun bukti penelitian menunjuan bahwa banyak kasus fobia sosial
menyeluruh terjadi tanpa adanya gangguan kepribadian menghindar (Holt,
Heimberg, & Hope, 1992), relative sedikit kasus dari kepribadian menghindar
yang muncul tanpa keehadiran fobia sosial menyeluruh (Widiger, 1992). Jadi
gangguan kepribadian menghindar dapat mencerminkan bentuk yang lebih parah dari
fobia sosial (Hoffman dkk., 1995). Namun panel ilmiah masih mempertanyakan
apakah gangguan kepribadian menghindar
sebaiknya dianggap sebagai bentuk yang parah dari fobia sosial menyeluruh atau
kategori diagnostik yang berbeda sebagaimana kini digolongkan.
Kriteria
diagnostik (DSM-5) pada gangguan kepribadian mengindar adalah sebagai berikut.
a. Pola
perfasiv hambatan sosial, perasaan tidak cakap, dan kepekaan berlebihan
terhadap penilaian negatif, dimulai pada masa dewasa awal dan tampak dalam
berbagai koteks, seperti yang ditunjukkan oleh empat (atau lebih) berikut :
1) Mengindari
aktivitas pekerjaan yang memerlukan kontak interpersonal yang bermakna karena
takut akan kritik, celaan dan penolakan.
2) Tidak
mau terlibat dengan orang lain kecuali merasa yakin akan disenangi.
3) Menunjukkan
keterbatasan dalam hubungan intim karena rasa takut dipermalukan atau
ditertawai
4) Preokupasi
dengan sedang dikritik atau ditolak dalam situasi sosial
5) Terhambat
dalam situasi interpersonal yang baru karena perasaan tidak ada kuat
6) Memandang
diri sendiri tidak layak secara sosial karena merasa dirinya tidak menarik atau
lebih rendah dari orang lain.
7) Tidak
biasanya enggan untuk mengambil resiko pribadi atau melakukan aktivitas baru
karena dapat membuktikan penghinaan
b.
Gangguan
Kepribadian Dependen (301.6/ F60.7)
Dependent Personality
Disorder Menggambarkan orang yang memiliki
kebutuhan yang berlebihan untuk di asuh oleh orang lain. hal ini membuat mereka
menjadi sangat patuh dan melekat dalam hubungan mereka serta akan takut aka
perpisahan. Orang dengan gangguan ini merasa sangat sulit melakukan segala
sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. mereka mencari saran dalam membuat
keputusan yang paling kecil sekalipun.
Gangguan
kepribadian dependen telah dikaitkan dengan ganguan psikologis lain, termasuk
depresi mayor, gangguan bipolar, dan fobia sosial, serta dengan masalah masalah
fisik, seperti hipertensi, kanker dan gangguan gastroinstenstinal (Bornstein, 1999; loranger, 1996; reich,
1996). Tampak pula adanya kaitan antara kepribadian dependen dengan apa yang
disebut oleh para teoritikus psikodinamika sebagai masalah perilaku ”oral”,
seperti merokok, gangguan makan, dan alkoholisme (Bornstein, 1993, 1999).
Penelitian menunjukan bahwa orang dengan kepribadian dependen lebih bergantung
pada orang lain untuk mendapatkan dukungan dan bimbingan daripada kebanyakan
orang (Greenberg & Bornstein, 1998a).
Kriteria
diagnostik (DSM-5) pada gangguan kepribadian dependen adalah sebagai berikut.
a. Kebutuhan
yang perpasiv dan berlebihan untuk diasuh, yang menyebarkan perilaku tunduk dan
menggantung dan rasa takut akan perpisahan, dimulai pada masa dewasa awal dan
tampak dalam berbagai konteks, seperti yang ditunjukkan oleh lima (atau lebih)
berikut:
1) Memiliki
kesulitan dalam mengambil keputusan setiap hari tanpa sejumlah besar nasehat
dan penenteraman dari orang lain.
2) Membutuhkan
orang lain untuk menerima tanggung jawab dalam sebagian besar bidang utama
kehidupannya.
3) Memiliki
kesulitan dalam mengekspresikan ketidaksetujuan pada orang lain.
4) Memiliki
kesulitan dalam memulai proyek atau melakukan hal dengan dirinya sendiri
(karena tidak memiliki keyakinan diri dalam pertimbangan atau kemampuan ketimbang
tidak memiliki motivasi atau energi)
5) Berusaha
berlebihan untuk mendapatkan asuhan dan dukungan dari orang lain, sampai pada
titik secara sukarela melakukan hal yang tidak meyenangkan.
6) Merasa
tidak nyaman atau tidak berdaya jika sendirian karena timbulnya rasa takut
tidak mampu merawat diri sendiri.
7) Segera
mencari hubungan dengan oranglain sebagai sumber pengasuhan dan dukungan jika
hubungan dekatnya berakhir.
8) Secara
tidak realistic terpreokupasi dengan rasa takut ditinggal untuk merawat dirinya
sendiri.
c.
Orang
dengan Kepribadian Obsesif-Kompulsif (301.4/ F60.5)
Ciri
yang menggambarkan gangguan kepribadian obsesif-kompulsif meliputi derjat
keteraturan yang berlebihan, kesempurnaan, kekakuan, kesulitan melakukan coping
dengan ketidakpastian, dan mendetail dalam kebiasaan kerja. Sekitaar 1% dari
sampel komunitas di diagnosis dengan gangguan ini (APA, 2000). Gangguan ini
lebih umum di temui pada laki laki daripada perempuan. Orang dengan gangguan
kepribadian obsesif-kompulsif sangat terpaku pada kebutuhan atau kesempurnaan
sehingga mereka tidak dapat menyelesaikan segala sesuatu tepat waktu. Apa yang
mereka lakukan pasti gagal memenuhi harapan mereka dan mereka memaksa diri
untuk mengerjakan ulang. Mereka berfokus pada detail yang orang lain anggap sebagai
hal yang kurang penting. kelakuan mereka menganggu hubungan sosial mereka,
mereka memaksa melakukan hal hal sesuai dengan cara mereka sendiri daripada
berkompromi. Antusiasme yang besar akan pekerjaan menjauhkan mereka dari
partisipasi dalam, atau menikmati, aktifitas sosial dan waktu senggang dan
mereka terlalu kaku dalam masalah moralitas dan etika karena kekakuan dalam
kepribadian dan bukan karena memegang teguh keyakinan.
Kriteria
diagnostik (DSM-5) pada gangguan kepribadian obsesif-komplusif adalah sebagai
berikut.
a. Pola
pervasif preokupasi dengan urutan, perfeksionisme, dan pengendalian mental dan
interpersonal, dengan mengorbankan fleksibilitas, keterbukaan, dan efisiensi,
dimulai pada masa dewasa awal dan tampak dalam berbagai konteks, seperti yang
ditunjukkan oleh empat (atau lebih) berikut:
1) Terpreokupasi
dengan perincian, aturan, daftar, urutan, susunan atau jadwal sampai tingkat
dimana aktivitas sesama hilang.
2) Menunjukkan
perfeksionisme yang mengganggu penyelesaian tugas.
3) Secara
berlebihan setia kepada pekerjaan dan produktivitas sampai mengabaikan
aktivitas waktu luang dan persahabatan (tidak disebabkan oleh kebutuhan ekonomi
yang besar)
4) Terlalu
berhati-hati, teliti, dan tidak fleksibel tentang masalah moralitas, etika atau
nilai-nilai (tidak disebabkan oleh identifikasi kultural atau religius)
5) Tidak
mampu membuang benda-benda yang usang atau tidak berguna walaupun tidak
memiliki nilai sentimental.
6) Enggan
untuk mendelegasikan tugas atau untuk bekerja dengan orang lain kecuali mereka
tunduk dengan tepat caranya mengerjakan hal
7) Memiliki
gaya belanja yang kikir baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain, uang
dipandang sebagai sesuatu yang harus ditimbun untuk rencana dimasa depan.
8) Menunjukkan
kekacauan dan keras kepala.
C.
MASALAH
- MASALAH DENGAN PENGGOLONGAN GANGGUAN KEPRIBADIAN
1)
Reliabilitas
dan Validitas yang Tidak Dipastikan
Sistem
DSM saat ini dibuat untuk mengatasi ambiguitas dalam kriteria diagnostik dari
gangguan kepribadian dengan memberikan kriteria deskriptif yang lebih jelas
dalam membedakan gangguan tertentu.Meskipun demikian, reliabilitas dan
validitas dari definisi yang digunakan dalum DSM-IV tetap perlu diteliti.
Masalah dalam Membedakan
Gangguan pada Aksis I dengan Aksis II sejumlah peninjau mempertanyakan apakah
gangguan kepribadian Aksis II dapat secara reliabel dibedakan dari sindrom
klinis Aksis seperti gangguan kecemasan atau gangguan mood (Farmer, 2000;
Livesley dkk., 1994). Sebagai contoh, klinisi mungkin mendapat kesulitan untuk
membedakan antara gangguan obsesif kompulsif dengan gangguan kepribadian
obsesif kompulsif Sindrom klinis diyakini berubah-ubah dari waktu ke waktu,
sementara gangguan kepribadian umumnya lebih merupakan pola gangguan yang
abadi. Meski demikian, bukti menunjukkan bahwa ciri gangguan kepribadian dapat
berbeda dari waktu ke waktu sesuai dengan berubahnya situasi. Di sisi lain,
sejumlah sindrom klinis Aksis I (distimia, misalnya) sedikit banyak bertahan
dalam jangka waktu yang lama.
2)
Tumpang
Tindih Antara Gangguan
Terdapat
pula tumpang tindih yang besar di antara gangguan kepribadian (Westen Shedler,
1999) Tumpang tindih tersebut mengurangi kejelasan atau kemurnian konseptual
DSM dengan menin gkatkan jumlah kasus yang tampaknya cocok untuk dua atau lebih
kategori diagnosis (Livesley, 1985). Meski sejumlah gangguan kepribadian
memiliki perbedaan yang jelas, banyak yang tampak memiliki trait umum yang
sama, seperti masalah dalam hubungan romantik Daley, Burge, & Hammen,
2000). Tambahan lagi, orang yang sama dapat memiliki mait yang mengindikasikan
gangguan kepribadian dependen (ketidakmampuan membuat keputusan atau melakukan
aktivitas secara mandiri) dan juga gangguan kepribadian menghindar (kecemasan
sosial yang dengan ekstrem dan sensitivitas yang tinggi terhadap kritik).
Umumnya, sekitar dua dari tiga orang gangguan kepribadian memenuhi kriteria
diagnostik untuk lebih dari satu tipe (Widiger, 1991). Tumpang tindih yang
besar tersebut menunjukkan bahwa gangguan kepribadian yang termasuk dalam
sistem mungkin tidak cukup berbeda antara satu dan yang yang & Schedler,
1999). Jadi, sejumlah gangguan yang disebut bisa jadi hanya menggambarkan aspek
berbeda dari satu gangguan, bukan kategori diagnostik yang berbeda.
3)
Kesulitan
dalam Membedakan antara variasi dalam Perilaku Normal dan variasi dalam
Perilaku Abnormal
Masalah
lain yang terkait dengan diagnosis gangguan keprbadian bahwa gangguan torsebut
melibatkan trait yang, dalam derajat yang lebih rendah, menggambarkan perilaku
dari kebanyakan individu normal. Merasa curiga tidak berarti Anda memiliki
gangguan kepribadian paranoid. kecenderungan untuk melebih-lebihkan arti
penting dari diri sendiri tidak berati Anda Anda dapat menghindari interaksi
sosial karena rakut akan dipermalukan ditolak tanpa memiliki gangguan
kepribadian menghindar, dan Anda dapat menjadi sangat rinci dalam bekerja tanpa
memiliki gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, Karena atribut yang
menjelaskan gangguan ini umumnya akan trait kepribadian, klinisi sebaiknya
banya menerapian diagnostik saar pola tersebut begitu pervasif sehingga
mengacaukan fungsi individual atau menyebabkan distres personal yan signifikan.
Namun sulit untuk diketahui di mana harus memberi bacas antara variasi normal
dalam gangguan perilaku dan kepribadian Kita terus-menerus kekurangan data yang
dapat mengarahkan kita secara lebih tepat dalan menentukan duduk di mana trait
menjadi cukup tidak fleksibel atau maladaptif untuk membenarkan diagnosis
gangguan kepribadian (Widiger & Costa, 199A).
4)
Bias
Seksis
Konstruksi
dari gangguan kepribadian tertentu kemungkinan memiki dasar eksis. Misalnya,
kriteria diagnostik untuk gangguan kepribadian melabel perilaku stereotip
feminim patologis dengan frekuensi yang lebih besar daripada kasus perilaku
stereotip maskulin. Mungkin saja untuk memperlihatkan bahwa trait maskulinitas
yang berlebihan berhubungan dengan distres yang signifikan atau hendaya dalam
fungsi sosial atau pekerjaan pada sejumlah laki-laki tertentu: Laki-laki yang
sangat marhuli sering terlibat dalam perkelahian dan mengalami kesulitan
bekeria untuk atasan Perempuan Meskipun demikian, tidak ada gangguan
kepribadian yang berkorespondensi dengan stereotip "laki-laki Jantan” (Nevid,
Rathus,& Greene, 2005).
Klinisi
juga bisa menjadi bias dalam persetujuan untuk menganggap perempuan memiliki
gangguan kepribadian histrionik dan laki-laki memiliki gangguan kepribadian
antisosial, bahkan saat tidak ada perbedaan dalam simtomatologi mereka (Garb,
1997). Klinisi kemungkinan juga memiliki bias gender saat mendiagnosis gangguan
kepribadian ambang. Dalam suatu penelitian, peneliti menampilkan contoh kasus
hipotetis pada 311 sampel psikolog, pekerja sosial, dan psikiater (Becker &
Lamb, 1994). Setengah dari sampel disajikan kasus yang diidentifikasi sebagai
perempuan, setengah lagi membaca kasus yang identik, tetapi diidentifikasi
sebagai laki-laki. Klinisi lebih sering mendiagnosis kasus yang diidentifikasi
perempuan sebagai memiliki gangguan kepribadian ambang.
5)
Merancu
Antara Label dengan Penjelasan
Jelas
bahwa kita sebaiknya tidak merancu antara label diagnostik dengan penjelasan,
namun pada praktiknya perbedaan yang ada kadang tidak jelas Bila kita merancu
antara label dengan penjelasan, kita dapat jatuh ke dalam jebakan penalaran
yang sirkular.
D.
PENYEBAB
MENURUT PERSPEKTIF TEORITIS
a.
Perspektif Psikodinamika
Teori
Freudian memandang bahwa banyaknya abnormalitas yang muncul diakibatkan karena Oedipus complex. Freud meyakini bahwa
anak-anak normalnya dapat mengatasi Oedipus
complex dengan mengabaikan inses pada orangtua yang bededa gender dan
mengidentifikasi diri dengan orang tua dari gender yang sama. Hasilnya adalah
mereka menyerap prinsip moral orangtua yang bergender sama dalam bentuk
struktur kepribadian yang disebut superego. Selain itu juga freud memandang
bahwa ketidakhadiran sosok ayah dan orangtua yang antisosial juga merupakan
faktor yang menyebabkan penyimpangan pada proses perkembangan, menghalangi anak
untuk memiliki moral guna mencegah perilaku anti sosial, perasaan bersalah,
menyesal,atau perilaku menyakiti orang lain. Pada perkembangan moral freud
berfokus pada laki-laki, sehingga menuai kritikan karena gagal menjelaskan
perkembangan moral perempuan.
Hans Kohut, salah satu pakar psikodinamika modern yang banyak berfokus pada
perkembangan kepribadian narsistik.
Kohut
meyakini bahwa kepribadian narsistik dengan meningkatan rasa self importance yang palsu untuk menutupi
perasaan tidak adekuat yang mendalam. Self esteem para narsistik seperti
kebutuhan yang harus terus menerus diisi ulang, Curahan perhatian dan pujian
terus menerus mencegah penderitaan harus terus didapatkan oleh kepribadian
narsistik untuk mencegah penderitaan karena ketidakaman. Prasaan grandiose
(merasa diri hebat) membantu orang dengan kepribadian narsistik membantu mereka
untuk menutupi person tidak berharga yang mendasar. Kegagalan dan kekecewaan
akan mendorong kepribadian narsistik pada lembah depresi. kepribadian narsistik
bisa sangat marah dan tersinggung pada mereka yang mereka anggap gagal melindungi
mereka dari kekecewaan atau yang menggurangi curahan keyakinan, pujian, dan
pemujaan terhadap mereka. Mereka menutupi perasaan malu dan marah dengan
memasang wajah yang tenang tidak peduli.
Kohut
menyakini bahwa narsisme yang sehat terjadi pada masa awal kanak-kanak ditandai
dengan bayi merasa kuat, seolah dunia bergerak mengitarinya, menganggap
orangtua mereka sebagai kekuatan yang
ideal dan ingin bersatu dengan mereka serta berbagi kekuasaan.
Pada
masa remaja, idealisasi kanak-kanak berubah menjadi kekaguman realistik pada
orangtua, guru, dan teman. Pada masa dewasa, gagasan ini berkembang menjadi
satu set standar, nilai, dan tujuan internal.
b.
Perspektif belajar
Teoritikus
belajar mengatkan bahwa pada masa kanak-kanak banyak terjadi pengalaman penting
yang membentuk perkembangan kebiasaan maladaptif dalam berhubungan dengan orang
lain yang menyebabkan gangguan kepribadian. Sebagai contoh, anak yang secara
terus menerus tidak didukung utuk mengungkapkan pikiran mereka atau menjelajahi
lingkungan mereka dapat mengembangkan pola perilaku kepribadian dependen.
Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif kemungkinan terkait disiplin atau
kontrol yang berlebihan dari orangtua dimasa kanak-kanak. Theodore Millon
(1981) menyatakan bahwa anak yang perilakunya dikontrol dan dihukum secra kaku
oleh orang tua mereka, bahkan untuk kesalahan yang ringan, dapat mengembangkan standar
kesempurnaan yang tidak fleksibel. Ketika beranjak dewasa, mereka mungkin
berjuang untuk mengembangkan diri mereka dalam area dimana mereka dapat tampil
baik, seperti kegiatan akademis atau atletis, sebagai cara untuk menghindari
kritik atau hukuman dari orang tua. namun perhatian yang khusus pada area
perkembangan tertentu saja mencegah mereka untuk menjadi orang yang terlibat
dalam banyak aktivitas. Sehingga mereka menghindari resiko dan tantangan baru.
Teoretikus
sosial-kognitif menekankan peran reinforcement
dalam menjelaskan asal mula adanya perilaku antisosial. Ullmann dan krassner
menyatakan bahwa orang dengan kepribadian antisosial kemungkinan gagal untuk
belajar merespons terhadap orang lain sebagai reinforcer yang potensial. Anak menempatkan orang lain sebagai reinforcing agent karena saat orang lain
tersebut memberikan mereka reinforcemet berupa pujian karena melakukan hal yang
baik dan menghukum mereka saat melakukan kesalahan, reinforcement dan hukuman
mmberikan informasi pada anak bahwa ada yang namanya harapan sosial, yang kemudian
memebantu anak memodifikasi perilakunya
untuk memaksimalkan kesempatan mendapatkan reward dan meminimalisir risiko di
waktu yang akan datag, sebagai konsekuensinya dalam artian anak menjadi
sensitive terhadap tuntutan orang lain.
Teoritikus
Albert Bandura mempelajari proses belajar observasional dalam perilaku agresif
yang merupakan salah satu komponen umum anti sosial. Ia dan rekannya telah
menunjukan bahwa anak menguasai keterampilan, termasuk keterampilan agresif
melalui pengamatan terhadap orang lain.
Psikolog
kognitif-sosial juga menujukan cara orang dengan gangguan kepribadian
menginterpretasi pengalaman sosial mereka memperngaruhi perilaku mereka,
misalnya ia cenderung keliru menginterpretasikan perilaku orang lain sebagai
ancaman.
c.
Perspektif keluarga
Sejalan
dengan pandangan psikodinamika yang, bahwa gangguan dalam hubungan keluarga
mendasari perkembangan gangguan kepribadian. Peneliti menemukan bahwa orang
dengan gangguan kepribadian ambang (BPD) dibandingkan dengan
gangguan psikologis lain, merka mengenang orang tua mereka sebagai
seorang yang lebih mengontrol dan kurang peduli.
Sejalan
lagi dengan psikodinamika, faktor keluarga seperti overprotektif dan
ototarianisme menyebabkan berkembangnya trait
kepribadian dependen yang menghambat perkembangan perilaku yang mandiri.
Ketakutan yang ekstreen akan ditinggalkan juga dapat menjadi salah satu
penyebab, kemungkinan dihasilkan dari kegagalan untuk mengembangkan ikatan yang
aman dengan figure orangtua dimasa kanak-kanak akibat pengabaian, penolakan,
atau kematian orangtua.
Seperti
halnya BDP, peneliti juga menemukan bahwa penganiayaan atau pengabaian di masa
kanak-kanak adalah faktor risiko dalam perkembangan gangguan kepribadian di
masa dewasa.
Anak-anak
yang ditolak atau bahkan diabaikan oleh orangtua mereka tidak dapat
mengembangkan perasaan kelekatan yang hangat pada orang lain. Mereka jadi
kurang mampu berempati terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain.
d.
Perspektif biologis
1.
Faktor genetis
Adanya
indikasi bukti dari adanya faktor genetis, beradasarkan temuan bahwa hubungan
biologis derajat pertama (orang tua dan saudara kandung) dari orang dengan
gangguan kepribadian tertentu, terutama tipe antisosial, skizotipal, dan
ambang, lebih cenderung didiagnosis gangguan-gangguan ini daripada anggota
populasi umum.
Penelitian terhadap
transmisi dalam keluarga terbatas karena anggota keluarga berbagi lingkungan
yang sama sebagaimana juga gen. maka penelitian beralih pada anak kembar dan
anak adopsi untuk mengetahui pengaruh genetis dan lingkungan. Bukti dari
penelitian ini anak kembar menyatakan bahwa dimensi keprbadian yang terkait
dengan gangguan kepribadian tertentu dapat memiliki kompenen yang diwariskan.
2.
Kurangnya respon emosional
Hervey
menyatakan bahwa kepribadian anti sosial dapat menjaga ketenangan mereka dalam
situas yang penuh tekanan yang akan menyebabkan kecemasan pada kebanyakan
orang.
Teoritikus
kognitif dapat menjelaskan hasil penelitian yang menunjukan bahwa efek dari stimulus
aversif pada orang dengan gangguan kepribadian anti sosial bergantung pada
makna dan nilai dari stimulus.
Saat
orang cemas, telapak tangan mereka cenderung berkeringat. Respon kulit, disebut
galvanic skin respons , adalah suatu
tanda aktivasi dari cabang simpatis sistem saraf otonom (autonomic nervous system). Orang dengan kepribadian antisosial
memiliki tingkat GSR lebih rendah saat mereka dihadapkan pada stimulus yang
menyakitkan daripada kelompok control yang normal. Tampaknya, orang dengan kepribadian
antisosial hanya mengalami sedikit kecemasan dalam mengatasi rasa sakit yang
akan dihadapinya.
3.
Model lapar-akan-stimulasi
Kebutuhan
akan tingkat stimulasi yang lebih tinggi dapat menjelaskan mengapa orang dengan trait psikopati cenderung lebih mudah
mersa bosan daripada orang lain dan juga lebih sering tertarik pada aktivitas
yang lebih menstimulasi namun secara
potensial berbahaya. Seperti motorcycling, skydiving, jud dengan taruhan yang
besar, atau petualangan seksual.
4.
Abnormalitas otak
Penelitian
menggunakan teknik pencitraan otak (brain-imaging)
yang canggih menghubungkan antara gangguan kepribadian antisosial dan
abnormalitas pada korteks prefrontal dari lobus frontal.
Korteks
prefrontal adalah bagian dari otak yang beratanggung jawab untuk menghambat
perilaku impulsif, menimbang konsekuensi dari tindakan kita, memecahkan
masalah, dan merencanakan masa depan.
Abnormalitas
otak dapat membantu menjelaskan beberapa ciri gangguan kepribadian antisosial,
termasuk kurangnya hati nurani, kegagalan dalam menghambat perilaku impulsif,
kondisi ketengsaraan yang rendah, usaha yang buruk dalam memecahkan masalah dan
kegagalan untuk memikirkan konsekuensi dari perilaku sebelum bertindak.
e.
Perspektif sosiokultural
Perspektif
sosiokultural menelaah kondisi sosial yang dapat berkontribusi pada
perkembangan pola perilaku yang diidentifikasi sebagai gangguan kepribadian.
Kita perlu melihat peran dari stressor yang dialami individu dan keluarga yang
kurang beruntung yang bermain dalam pembentukan pola perilaku, dikarenakan
gangguan kepribadian antisosial dilaporkan paling sering terjadi pada orang
yang ekonominya dari kelas sosial lebih rendah. Banyak lingkungan yang di
dalamnya penuh dengan masalah sosial seperti kemiskinan, alkohol, seks bebas,
penyalahgunaan obat terlarang, serta keluarga yang tidak terorganisasi dan
tidak terintegrasi. Masalah sosial tersebut dapat mendorong individu menjadikan
hal tersebut sebagai panutan yang menyimpang.
Bicara
tentang masalah kepribadian antisosial dapat meliputi usaha pada tingkat
masyarakat untuk memperbaiki ketidakadilan sosial dan memperbaiki kondisi
sosial.
E.
INTERVENSI ATAU PENANGANAN GANGGUAN
KEPRIBADIAN MENURUT PERSPEKTIF
Orang dengan perilaku gangguan
kepribadian biasanya memandang perilaku mereka sebagian dari perilaku alami
mereka. meski mereka tidak pernah bahagia atau distress, mereka sulit
menganggap perilaku mereka sendir sebagia penyebabnya. Orang dengan gangguan kepribadian
juga cenderung berespon lebih buruk terhadap penanganan masalah seperti depresi
di bandingkan orang lain, mungkin karena pengaruh negative dari pola perilaku
maladaptive mereka (Shea, Widiger, & Klein, 1992).
a. Pendekatan
psikodinamika
Pendekatan psikodinamika sering
digunakan untuk menolong orang yang di diagnosis dengan gangguan kepribadian
agar menadi lebih sadar akan akar dari pola perilaku self-defetaing mereka dan belajar cara yang lebih adaptif dalam
berhubungan dengan orang lain. kemajuan dalam terapi dapat terhambat oleh
kesulitan dalam bekerja secara terapeutik dengan orang yang menderita gangguan
kepribadian, terutama klien dengan gangguan kepribadian ambang dan narisistik.
Terapis psikodinamika sering melaporkan bahwa orang dnegan gangguan kepribadian
ambang cenderung memilki hubungan yang tidak stabil dengan para terapis, kadang
mengidolakan mereka, kadang menuduh mereka tidak peduli.
Terlepas dari adanya masalah
dalam menangani orang yang menderita gangguan kepribadian dengan menggunakan
psikoterapi, sejumlah hasil yang menjanjikan telah di laporkan menggunakan
terapi berorientasi psikodinamika (misalnya, Bateman & Fonagy, 2001).
Pertama kali di temukan bentuk terstruktur dan singkat dari terapi
psikodinamika di Beth Israel Medical Center New York (Winston dkk, 1991).
b. Pendekatan
behavioral
Banyak teoritikus behavioral yang
sama sekali tidak berpikir dalam kerangka kepribadian klien, namun lebih dalam
kerangka perilaku maladaptive di pelajari dan di pertahankan oleh kemungkina
adanya reinforcement. Maka dari itu terapis behavioral berfokus pada usaha
untuk merubah perilaku maladaptive mengubah menjadi perlaku adaptif melalui
menggunakan teknik seperti pemusnahan, modeling dan reinforcement. Jika klien
tersebut diajarkan perilaku yang cenderung dikuatkan oelh orang lain, maka
perilaku baru tersebut akan di pertahankan.
Terlepas dari kesulitan dalam
menangani gangguan kepribadian ambang (ABD), dua kelompok terapis di kepalai
oleh Aaron Beck dan Marsha Linehan
melporkan hasil yang menjanjikan dengan menggunakan teknik kognitif-behavioral.
Pendekatan Beck berfokus pada menolong individu memperbaiki distorsi kognitif
yang mendasari kecenderungan untuk memandang diri sendiri dan orang lain
sebagai “semua-tentangnya-baik” atau “semua-tentangnya-buruk”. Teknik Linehan
yang disebut dialectical behavioral therapy (DBT), menggunakan terapi perilaku
dan pskoterapi suportif. Technical behavioral di gunakan untuk membantu klien
mengembangkan keterampilan sosial yang lebih efektif dan keterampilan dalam
menyelesaikan masalah, yang bisa memperbaiki hubungan mereka dengan orang lain
dan juga kemampuan untuk mengatasi kemampuan negatif. Karena orang dengan BPD
cenderung terlalu sensitive bahkan terhadap tanda yang paling halus dari penolakan,
terapis memberi penerimaan dan dukungan yang terus menerus, bahkan saat klie n
terus mendesak hingga menjadi manipulatif atau sangat menuntut. Walaupun hasil
awal dengan DPB menjanjikan, peneliti tahu bahwa perlu penelitian lebih lanjut
untuk mendukung efikasi dalam menangani gangguan yang menantang (Scheel, 2000;
Turner, 2000).
c. Pendekatan
biologis
Terapi obat tidak secara langsung
dapat menangani gangguan kepribadian. Meski demikian, obat anti depresan atau
anti kecemasan kadang di gunakan untuk menangani distress emosional yang di
alami individu gangguan kepribadian. Obat tidak mengubah pola persisten dari
perilaku maladaptive yang dapat menyebabkan distress. Meski demikian, sebuah
penelitian mengindentifikasi bahwa antidepresan Prozac dapat mengurangi
perilaku agresif dan iritabilitas dala
diri individu penderita gangguan kepribadian, yang impulsive dan agresif
(Coccaro & Kavoussi, 1997). Peneliti menduga bahwa perilaku impulsive dan
agresif berhubungan dengan kekurangan serotonin. Prozac dan obat lain yang
serupa bekerja untuk mningkatkan ketersediaan serotonin untuk sambungan
sinaptik di otak.
KESIMPULAN
Dari makalah di atas maka dapat
disimpulkan bahwa gangguan kepribadian dibagi menjadi tiga kelompok dan masing-masing
kelompok memiliki karakteristik yang khas dan berbeda-beda satu sama lain.
Selain itu, yang berpotensi untuk mengalami gangguan kepribadian pun dapat
dialami oleh siapapun karena gangguan kepribadian tidak saja disebabkan oleh
faktor genetika (dapat diturunkan), tapi juga dipengaruhi oleh faktor keluarga,
faktor belajar (pengalaman membentuk kebiasaan maladaptif dalam berhubungan
dengan orang lain), faktor sosio kultural (paling sering terjadi pada orang
yang ekonominya dari kelas sosial lebih rendah), faktor biologis (hormon,
neurotransmitter dan elektrofisiologi), dan faktor psikoanalitik (yaitu adanya
fiksasi pada salah satu tahap di masa perkembangan psikoseksual dan juga
tergantung dari mekanisme pertahanan ego orang yang bersangkutan).
DAFTAR PUSTAKA
Nevid, J.S., dkk., Psikologi Abnormal Edisi Ke-5, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.
Maslim, Rusdi, Diagnosis
Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-5, Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, 2013.
Disusun oleh Kelompok 4: Homi, Adinda, Siti, Tata Puspita, Salsa