playlist

Sunday, 10 September 2017

ALFRED BINET: MEASURING INTELLIGENCE

Resume
ALFRED BINET: MEASURING INTELLIGENCE
Alfred Binet
(1857-1911)

            Alfred Binet lahir di Nice pada tanggal 8 Juli 1857 (Perancis) dan meninggal di Paris pada tanggal 18 Oktober 1911. Orang tua dan nenek moyang beliau dari keturunan yang mayoritas berprofesi dokter. Namun, ibu beliau berprofesi sebagai pelukis sehingga jiwa seni dari ibunya turun ke beliau dan menghasilkan aspek psikologi dari tulisan dan seni. Beliau belajar bidang hukum di Lycee, Nice, dan LycĂ©e Louis le Grand di Paris hingga memperoleh gelar diploma dan lisensiat. Tahun 1877 Binet bertemu Ribot, seorang psikolog Perancis yang turut menentukan kehidupan psikologi di Perancis. Atas anjuran Ribot maka Beliau mulai mempelajari psikologi, khususnya psikopatologi yang sudah lama hidup di Perancis. Beliau dikenal sebagai seorang psikolog dan juga pengacara (ahli hukum).
            Pada 1890-an, Kementrian Pendidikan Paris dihadapkan dengan masalah yang sulit. Mereka ingin memberikan pendidikan yang luas kepada semua “intelligence” dan lebih praktis, kurangnya akademik sekolah untuk anak-anak yang kurang cerdas. Mereka ingin bersikap adil tentang memilih anak-anak yang akan diberikan pelatihan akademis terdepan, tetapi mereka juga ingin membuat keputusan ketika anak-anak cukup muda. Bagaimana mereka bisa “mengukur” sesuatu yang sangat tidak berwujud sebagai kecerdasan anak?
            Kementrian Pendidikan meminta saran kepada profesor di Universitas Sorbonne yang baru saja mendirikan laboratorium psikologi pertama Perancis. Minat Alfred Binet berbeda dari para psikolog awal lainnya. Daripada mengukur struktur pikiran atau fungsi, Binet berusaha untuk mengukur kapasitas intelektualnya. Dari bereksperimen dengan sejumlah item tes, Binet dan rekan-rekannya mampu menemukan setelan pertanyaan (misalnya persoalan aritmetika, definisi kata, tugas memori/mengingat) yang bisa dijawab oleh anak-muda atau anak-anak dengan subnormal intelligence. Pertanyaan-pertanyaan ini digunakan untuk menciptakan sebuah intelligence test yang kemudian direvisi dan diterjemahkan di Amerika untuk dapat digunakan, hingga penggunaan Skala Intelegensia Stanford-Binet dikenal secara luas. Bagi Alfred Binet, tes ini adalah jantung dari definisinya tentang psikologi sebagai ilmu yang mengukur pikiran untuk tujuan praktis. Dengan demikian, ia memberikan dorongan untuk cabang psikologi yang mengkhususkan diri dalam measurement of intelligence, personality, job aptitude, dan sebagainya.
            Tes yang dikembangkan oleh Binet merupakan tes intelegensi pertama, meskipun kemudian konsep usia mental mengalami revisi sebanyak 2 kali sebelum dijadikan dasar dalam test IQ. Pada tahun 1914, tiga tahun setelah beliau wafat, seorang psikolog Jerman, William Stern, mengusulkan bahwa dengan membagi usia mental anak (the mental age atau MA) dengan usia kronologis (Chronological Age atau CA), maka akan lebih memudahkan untuk memahami apa yang dimaksud "Intelligence Quotient". Rumus ini kemudian direvisi oleh Lewis Terman, dari Stanford University, yang mengembangkan tes untuk orang-orang Amerika. Lewis mengalikan formula yang dikembangkan Stern dengan angka 100. Perhitungan statistik inilah yang kemudian menjadi definisi atau rumus untuk menentukan intelegensi seseorang: IQ=MA/CA*100. Tes IQ inilah yang dikemudian hari dinamai Stanford-Binet Intelligence Test.





Referensi:
Lahey, Benjamin B, Psychology an Introduction, second edition, United State of America: Wm. C. Brown Publisher, 1986.
11018rika.blogspot.co.id/2012/03/inteligensi-menurut-alfred-binet.html diakses pada 12/12/2016

Contoh outline (kerangka) makalah

Disusun oleh: Tata Puspita
TUGAs BAHAsA INDONEsIA OUTLINE (KERANGKA) MAKALAH

Tema/Topik               :
Kepribadian 
Judul                          : Pola-Pola Kepribadian Manusia dalam Al-Qur’an
Pendahuluan             : - Maksud dan tujuan menuliskan pola-pola kepribadian
  - Penciptaan manusia yang termuat dalam Al-Qur’an
  - Pergulatan psikologis manusia
Pembahasan              : Pola-pola kepribadian manusia dalam Al-Qur’an
1.      Definisi Kepribadian
2.      Faktor yang mempengaruhi kepribadian manusia
3.      Sifat-sifat dari masing-masing tipe kepribadian manusia dalam Al-Qur’an
Penutup                      : Kesimpulan dan saran
Daftar Pustaka          :
1. Najati, Muhammad Utsman, AL-QUR’AN DAN ILMU JIWA, cet.I, terj.oleh Ahmad Rofi Usmani, Bandung:Penerbit Pustaka, 2004.


2.http://dokumen.tips/documents/psikologi-dan-sifat-khas-kepribadian-manusia.html diakses  pada 30 Oktober 2016 pukul 20.12 




      For more about the structure, let's check it out: struktur atau susunan makalah -yang InsyaAllah baik & benar-

Ringkasan: Sumber Hukum Islam

Ringkasan.
SUMBER HUKUM ISLAM
BAB IV
A.    Pengertian sumber hukum islam (Dalil)
Dalil menurut bahasa adalah “petunjuk terhadap sesuatu yang baik konkrit maupun maknawi; baik petunjuk kepada kebaikan maupun pada keburukan. Menurut ketetapan ahli fikih, dalil adalah sesuatu yang menurut pemikiran yang sejahtera menunjukkan pada Hukum Syara’ yang amali, baik dengan jalan pasti (yakin) ataupun dengan jalan dugaan kuat.

B.     Pembagian (klasifikasi) Dalill
Pembagian atau klasifikasi dalil (sumber hukum islam), dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu :
1.      Dari segi asalnya :
a.       Dalil Naqly (nas), yaitu nas ayat al-qur’an dan al-hadits/sunnah.
b.      Dalil Aqly (Ra’yu). Dalil ini disebut juga dengan ijtihad, baik ijtihad perseorangan maupun kolektif (ijma’)
2.      Dari segi daya cakupnya :
a.       Dalil Kully, yakni dalil yang isinya mencakup banyak satuan hukum, bahkan mencakup sebagian besar hukum yang sejenis.
b.      Dalil juz’I (Tafsily), yakni dalil yang hanya menunjuk pada satuan hukum saja.
3.      Dari segi kekuatannya:
a.       Dalil Qat’I, yakni dalil yang mendatangkan keyakinan (kepastian) :
1)      Qat’I Wurudnya atau Subutnya (cara datangnya atau penetapannya), ialah dalil yang diyakini (dipastikan) datangnya dari pembuat syara’, dengan jalan mutawatir.termasuk al-Qur’an, Hadits Mutawatir dan Hadits Masyhur.
2)      Qat’I Dalalahnya ialah dalil tyang lafadz dan susunan ketanya tegas dan jelas menunjukkan arti dan maksud tertentu.
b.      Dalil zanni, yakni yang mendatangkan dugaan dengan kuat :
1)      Zanni Wurudnya atau Subutna, ialah dalil yang diduga keras datangnya dari pembuat syara’, yaitu yang diriwayatkan dari jalan ahad. Misal : hadits ahad.
2)      Zanni Dalalahnya, ialah dalil ynng lafadz atau susunan katanya tidak jelas & tidak pula tegas menunjukkan pada arti da maksud yang tertentu.

C.    Perincian Dalil-Dalil Syarat
Yang dimaksud perincian dalil-dalil syara’ adalah macam-macam dalil yang digunakan oleh para 4 ulama madzhab.
a.       Imam Hanafi
Dalil-dalil yang digunakan adalah:
1)      Kitabullah/al-Qur’an
2)      As-Sunnah
3)      Al-Ijma’
4)      Al-Qiyas
5)      Istihsan
6)      ‘Urf
b.      Imam Syafi'i
Dalil-dalil yang digunakan adalah:
1)      Kitabullah/al-Qur’an
2)      As-Sunnah
3)      Al-Ijma’
4)      Al-Qiyas atau istidlal
c.       Imam Malik
Dalil-dalil yang digunakan adalah:
1)      Kitabullah/al-Qur’an
2)      Sunnah Rasul yang sah
3)      Amal penduduk Madinah (Ijma’ ahli Madinah)
4)      al-Qiyas
5)      Mashlahah mursalah/ istishlah
d.      Imam Ahmad
Dalil-dalil yang digunakan adalah:
1)      Nas
a)      Kitabullah/al-Qur’an
b)      Hadis marfu’
2)      Fatwa sahabat/ijma’ sahabat
3)      Hadis mursal/hadis dhaif (maksudnya hadis hasan)
4)      Qiyas (di kala dharurat)
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, di antara ke empat imam madzhab, hukum-hukum yang disepakati adalah:
1.      Kitabullah/al-Qur’an
2.      As-Sunnah
3.      Al-Ijma’
4.      Al-Qiyas
Penggunaan empat dalil tersebut berdasarkan firman Allah SWT.
Adapun Mahmud Syaltout berpendapat bahwa dalil syar’i itu ada 3; al-Qur’an, as-Sunnah, dan ar-Ra’yu. Adapun ar-ra’yu ini didasari oleh hadis taqriry Rasulullah terhadap pernyataan Muadz yang akan menggunakan ra’yi sebagai landasan dalil ketika tidak ada  Nas dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Semua dalil harus sesuai  dengan al-Qur’an, karena pada hakikatnya hukum asal itu adalah al-Qur’an.

D.    Al-Qur’an/Kitabullah
a.       pengertian
Al-Qur’an adalah: kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad Saw., ditulis dalam mushaf yang menggunakan Bahasa Arab, yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.

b.      kedudukan al-Qur’an sebagai dalil dan kehujjahannya.
Dari segi kedudukan, al-Quran telah disepakati oleh para ulama sebagai suber pertama dari segala dalil, bahkan bisa disebut sebagai satu-satunya dasar, karena dasar yang lain juga akan berujung pada al-Qur’an.
Adapun dari segi kehujjahan, al-qur’an adalah hujjah yang paling kuat. Penetapan hukum dengan dalil al-Qur’an tidak memerlukan bukti, alasan, atau keterangan apapun. Bahkan al-Qur’an telah menyebtukan penawaran untuk berkompetensi dalam menyaingi isi al-Qur’an, ancaman bagi orang yang menentang kerasulan Muhammad hingga tidak adanya kesanggupan orang musyrik untuk membandingi kemahiran tata Bahasa dalam al-Qur’an.

E.     As-Sunnah atau al-Hadits
1.      Pengertian as sunnah
Menurut bahasa adalah jalan yang ditempuh, perbuatan yang senantiasa dilakukan, adat kebiasaan, sebagai lawan kata dari bid’ah.
Sedangkan menurt istilah
a.       Menurut ahli fiqih : sesuatu perbuatan yang jika ikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
b.      Menurut ahli hadits: semua perkataan, perbuatan atau keadaan nabi Muhammad saw
c.       Menurut ahli ushul fiqih : semua perkataan, perbuatan, atau ketetapan Nabi saw yang berhubungan dengan pembentukan huukum.
2.      Pembagiaan as-sunnah dan al-hadits
a.       Ditinjau dari segi sift pembentukannya, yaitu qauliyah (perkataan), fi’liyah (perbuatan), taqririyah (ketetapan), dan hammiyah (keinginan), sunnah tarkiyah (hal yang ditinggalkan oleh nabi)
b.      Ditinjau dari segi jumlah bilangan perawinya, yaitu mutawatir, masyhur, dan ahad
c.       Ditinjau daei segi sandarannya kepada nabiNabi saw, yaitu marfu’, mauquf, dan maqtu’.
d.      Ditinjau dari segi nilainya, yaitu sahih, hasan, dan da’if.
3.      Kedudukan dan kehujjahan as-sunnah
a.       Kedudukannya, as sunnah sebagai dasar hukum (dalil) menduduki urutan yang kedua setelah al-qur’an.
b.      Kehujjahannya, as-sunnah menjadi huujjah, menjadi sumber hukum dan menjadi tempat mengistinbatkan hukum syara’
4.      Fungsi assunnah dalam menetapkan huku, diantaranya menguatkan hukum yang telah disyari’atkan dalam al-qur’an, menerangkan apa yang telah disyari’atkan dalam al-qr’an, dan mensyari’atkan hukum yang didiamkan oleh al-qur’an.
5.      Perbedaan pendapat dalam menilai as-sunnah
Sebagian kecil ulama menolak sebagai dasar sumber hukum dengan alasan tertentu, jumhur ulama menerima sebaai sumber hhukum, hanya saja di antara mereka ada yang hanya menerima hadits mutawatir saja, ada yang menerima sunnah ahad dengan mengemukakan beberapa syarat.

F.     Al-Ijtihad
1.      Pengertian ijtihad
Menurut bahasa adalah pncurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuattu urusan atau sesuatu perbuatan. Sedangkan menurt istilah adalah pencurahan segenap kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan hukum syara’ yang amali dari dalil-dalilnya yang tafsili.
2.      Dalil—dalil sebagai dasar tasyri’, yaitu Al-qur’an surat an-Nisa’ (4), ayat 59, as-sunnah yang diriwayatkan oleh al—Bagawi dari Muaz ibn Jabbal, dan akal.
3.      Syarat-syarat melakukan ijtihad
a.        mengetahui dngan baik bahasa arab dalam segla seginya
b.      Mengetahui dengan baik isi al-qur’an, terutama ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah amali
c.       Mengetahui dengan baik sunnah rasul yyang berhubungan dengan hukum
d.      Mengetahui masalah-masalah hukum yang telah menjadi ijma’ para ulama sebelumnya
e.       Mengetahui ushul fiqih
f.       Mengetahui kaidah fiqih
g.      Mengetahui maksud-maksud syara’
h.      Mengetahui rahasia-rahasia syara’
i.        Orang yang melkukan ijtihad itu mempunyai sifat adil, jujur, dan berbudi pekerti terpuji.
j.        Mempunyai niat yang suci dan yang benar.
4.      Tingkatan-tingkatan nujtahid
a.       Mujtahid fi asy-syar’I,
b.      Mujtahid muntasib
c.       Mujtahid fi al-Madzhab
d.      Mujtahid Murajih
5.      Jalan atau cara ijtihad
Menurut Abdul Wahhab Khallaf : yaitu al-qiyas, al-istihsan, al-iatislah, dan lainnya yang direstui oleh syara’ untuk mengistinbatkan hukum bagi masalah yang tidak ada nashnya.
Jalan atau cara ijtihad:
a.       Ijma’
b.      Qiyas
c.       Istihsan
d.      Istislah atau maslahah mursalah
e.       Urf
f.       Istishab
g.      Syar’u man qablana
h.      Saddu az zari’ah


Disusun oleh: Tata Puspita

Sumber Referensi:

Fathurohman, Oman, PENGANTAR ILMU FIQH USUL FIQH, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 1993.

Friday, 8 September 2017

Masjid dan Bakul Keramat : Konflik dan Integrasi dalam Masyarakat Bugis Amparita

RESUME BUKU ATHO MUDZHAR BAB V
Disusun oleh: Tata Puspita
Masjid dan Bakul Keramat : Konflik dan Integrasi dalam Masyarakat Bugis Amparita
            Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang sifatnya multi-dimensional biasanya ditimbulkan oleh perbedaan suku, tingkat sosial, pengelompokkan organisasi politik, agama, dan sebagainya. Pada studi kasus yang berlokasi di Amparita, sebuah desa di Sulawesi Selatan ini merupakan penelitian dengan tujuan memahami konflik dan integrasi sosial antara kelompok-kelompok sosial yang ada pada desa tersebut diketahui bermula dari adanya perbedaan agama. Relevansi studi-studi tentang konflik dan integrasi sosial berusaha mengetahui faktor apa saja yang dapat menyebabkan keduanya terjadi. Pengertian konflik ialah pertentangan antara 2 kelompok sosial atau lebih, atau potensialitas yang mendorong ke arah pertentangan. Sedangkan maksud integrasi adalah proses 2 kelompok sosial atau lebih menjadi terpadu sehingga memberikan kebersamaan dan kesatuan.
            Amparita adalah desa sekaligus Ibukota Kecamatan Tellu LimpoE, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Bukit-bukit kecil gundul yang memanjang mengelilingi desa ini dari arah utara ke selatan. Terdapat 3 kelompok sosial di Amparita yang masing-masing berbeda konsep dan sistem keagamaan, yaitu : 1) kelompok Islam yang mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa dan sangat tidak senang melihat orang menyembah batu-batuan, kuburan, dan sebagainya., 2) kelompok Towani Tolontang mempunyai konsep ketuhanan Dewata Seuwae, ritusnya dengan menyembah kuburan nenek moyang dan batu-batuan., 3) Tolotang Benteng yang kepercayaan dan ritusnya sama seperti Towani Tolotang, tetapi secara formal mengaku Islam.
            Terjadi konflik antara ketiga kelompok diatas walaupun berbeda intensitasnya. Konflik antara kelompok Islam dan Towani Tolotang lebih keras daripada antara Islam dan Tolotang Benteng atau antara Towani Tolotang dan Tolotang Benteng. Konflik sosial antara Islam dan Towani Tolotang bermula dari soal keagamaan (upacara kematian, 1944) yang kebetulan menyangkut siri (harga diri). Kemudian berlanjut dan tertunjang oleh faktor politik  pada masa pemberontakan DI/TII (1951-1957), masa penumpasan G30S/PKI (1965-1966), dan masa operasi ”Maili sipakaenga” (1967). Adapun konflik antara kelompok Islam dan Tolotang Benteng baru tampak nyata pada penumpasan G30S/PKI. Sedangkan konflik antara kelompok Towani Tolotang dan Tolotang Benteng juga bermula pada tahun 1944 ketika terpecah untuk menepati atau tidak menepati perjanjian mereka dengan Sri Raja Sidenreng La Cibu tentang penyelenggaraan upacara perkawinan dan kematian secara islam.
            Aspek-aspek yang mendorong konflik sosial dewasa ini yaitu : aspek sejarah asal-usul masing-masing kelompok, aspek kepercayaan dan pandangan, aspek makanan, aspek perkawinan, aspek penyelenggaran pendidikan, aspek pimpinan konflik pada masa lalu, Towani Tolotang sebagai persoalan hukum yang mana statusnya tidak menentu, dan aspek ‘sikap mental’ yang masih penuh kecurigaan dan kurang pengertian antara masing-masing kelompok. Lain halnya dengan konflik, menjelang pemilu 1971 mulai berhasil tampak adanya usaha untuk mengintegrasikan ketiga kelompok tersebut tepatnya setelah Towani Tolotang menyatakan diri masuk Golkar.  Dimasa itu partai Golkar bisa disebut penguasa karena memiliki suara dukungan terbesar.
            Aspek-aspek pendorong yang dimanfaatkan bagi usaha-usaha integrasi itu adalah : kepercayaan tentang Gunung Lowa, kekayaan kebudayaan lama, pendidikan dalam arti yang umum, politik, pertanian, kekerabatan, lingkungan alam, dan lain-lain. Dari berbagai macam aspek tersebut aspek pertanian adalah yang paling mudah dilihat, tetapi pendorong integrasi terkuat terletak pada aspek politik. Faktor politik selalu cenderung untuk menjadi ‘panglima’ di atas permukaan baik keadaan konflik maupun integrasi, walaupun di bawah permukaan belum tentu.

            Kenyataan yang unik bahwa ketiga kelompok sosial yang ada di Amparita mempunyai pimpinan dan pandangan yang tidak sama. Tetapi, disisi lain mereka tinggal di satu desa dan rumah mereka berdekatan bahkan berdampingan. Mereka sama-sama petani dan letak sawah garapan mereka juga berdekatan. Mereka berkesukuan sama, mempunyai adat berpakaian yang sama, dan menggunakan bahasa yang sama. Demikianlah, mereka hidup di dalam perbedaan-perbedaan, namun dalam waktu yang sama mereka juga hidup dalam persamaan-persamaan.